Pesta demokrasi sering kali disertai dengan pemandangan baliho-baliho raksasa yang menjulang tinggi di sepanjang jalan raya.
Seakan baliho-baliho para politisi atau peserta pemilu menjadi simbol keriuhan politik, menandakan volatilitas dan intensitas persaingan antar calon.
Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa baliho-baliho tersebut lebih mirip album foto raksasa daripada wadah gagasan politik yang konkret.
Pemilihan umum seharusnya menjadi panggung pertukaran ide dan perdebatan, tetapi terkadang hanya berubah menjadi pertunjukan visual, di mana potret besar mendominasi sementara gagasan-gagasan kecil terbenam di baliknya.
Melihat baliho-baliho tersebut, kita sering disuguhkan wajah-wajah calon yang memandang tajam ke arah kita, sering kali didampingi oleh tagline yang terdengar indah di telinga.
Namun, seberapa jauh potret raksasa ini mencerminkan substansi ideologi dan tujuan para calon?
Lebih sering daripada tidak, kita disuguhkan gambaran kosong yang lebih menekankan pada kehadiran fisik dan pesona personal dibandingkan dengan visi politik yang konkret.Â
Ini menciptakan paradoks menarik: bagaimana sesuatu yang seharusnya menjadi sarana penyampaian ide malah menjadi pemujaan karakter personal?
Mari kita telaah fenomena baliho politik dengan merinci elemen-elemen yang sering kali mendominasi, potret besar calon dan tagline bersahaja.
Potret besar tersebut memiliki tujuan jelas, menancapkan citra calon dalam benak pemilih.
Namun, dalam upaya untuk mencapai hal itu, apakah kita kehilangan substansi dan fokus pada wajah-wajah penuh senyuman?