Di sana, terdapat cerita-cerita tentang perjuangan seorang wanita yang berusaha melarikan diri dari cengkeraman pasangannya yang menguasai.
Ada pula kisah tentang laki-laki yang terjebak dalam lingkaran ketidaksetujuan dan kekecewaan, yang akhirnya terlibat dalam tindakan kekerasan yang merusak kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Namun, Ibukota Kekerasan bukanlah sekadar kumpulan kisah tragis. Ini juga menceritakan tentang ketidaksetaraan gender, ketidakpekaan sistem hukum, dan kurangnya dukungan sosial yang membuatnya sulit bagi korban untuk memutuskan siklus tersebut.
Kita menemukan bagaimana norma-norma sosial yang melekat dan pandangan yang terkotak-kotak terhadap peran gender ikut memperkuat dominasi kekerasan ini.
Sebagai Ibukota Kekerasan, tempat ini juga menciptakan senyap. Banyak korban yang tak berani bersuara, terkunci dalam keheningan yang merusak dan meremukkan kepercayaan diri mereka.
Sistem yang seharusnya melindungi ternyata malah menjadi alat penyiksaan yang lebih dalam, membuat orang berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk membuka pintu rahasia kehidupan mereka.
Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita bisa menghentikan siklus ini?
Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan setiap individu untuk merobohkan Ibukota
Kekerasan ini dan memberikan kesempatan bagi mereka yang terjebak untuk melarikan diri dan membangun kembali hidup mereka?
Pertama-tama, kesadaran publik perlu ditingkatkan. Ibukota Kekerasan seringkali tersembunyi di balik tirai ketidakpedulian dan ketidaktahuan.
Melalui kampanye edukasi yang intensif, kita dapat membuka mata masyarakat untuk melihat realitas yang ada di sekitar mereka.
Pengertian tentang apa itu KDRT, bagaimana mengidentifikasinya, dan pentingnya memberikan dukungan kepada korban perlu tersebar luas agar tidak ada lagi tempat yang aman bagi kekerasan ini untuk berkembang.