makan gratis. Dua kata yang membangkitkan gambaran bantuan yang seolah mengalir begitu mudahnya dari pemerintah kepada rakyatnya.
Suara-suara riuh rendah pun mulai terdengar, membentuk suatu opini yang seringkali terpecah belah di antara warga masyarakat.
Sebagian berseru, "Inilah solusi nyata untuk masalah stunting!" Namun, di sisi lain, ada juga yang mendengus skeptis, "Hanya kebijakan populis belaka, tak lebih dari janji manis untuk menarik simpati publik."
Pertanyaan mendasar yang melandai wacana ini adalah apakah program susu dan makan gratis ini benar-benar menjadi solusi, ataukah hanya sekadar alat politik untuk mendulang dukungan rakyat?
Seiring senyapnya sudut-sudut kota yang mulai memudar ketika malam tiba, kita masuki lintasan ini dengan pikiran terbuka, siap membedah argumen-argumen yang melingkupi program pemberian susu dan makan gratis ini.
Sebelum terjun ke dalam tulisan yang lebih mendalam, tak bisa kita hindari untuk merasakan manisnya janji makan dan susu gratis ini. Bagaimana tidak?
Setiap orang pasti menyukai sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma. Ini seperti hadiah yang tak terduga, mengundang senyum bahagia di wajah banyak orang.
Tetapi, pertanyaannya, apakah senyum itu hanya akan bersifat sementara?
Pemerintah seringkali menyajikan program ini sebagai solusi ajaib untuk masalah stunting yang terus menghantui bangsa ini.
Dalam memberikan susu dan makan gratis kepada anak-anak, diharapkan masalah stunting dapat diatasi dengan sendirinya.
Argumentasi ini memang terdengar meyakinkan di permukaan, namun, seberapa jauh kebijakan ini mampu meresapi akar permasalahan dan memberikan solusi yang berkelanjutan?
Seiring langkah kita yang memasuki lorong-lorong kebijakan ini, tampaklah sebuah gambaran yang mengundang tanya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya