Masyarakat yang masih terjebak dalam norma patriarki seringkali menunjukkan tingkat KDRT yang lebih tinggi, mengakar dalam pandangan bahwa kekerasan adalah wujud kontrol dan kekuasaan.
Melangkah lebih jauh, aspek budaya merasuki perilaku manusia. Apakah ini hasil dari ketidakmampuan kita untuk menilai peran perempuan dan anak-anak dalam masyarakat, ataukah gejala dari beban tradisional yang mewariskan pola perilaku beracun?
Budaya yang menghargai ketegasan dan ketidaksetujuan sebagai bentuk lemah, terkadang mengantar individu kepada jalan yang kelam.
Sementara itu, landasan psikologis pelaku menjadi pusat perhatian.
Mengapa seseorang dapat melampaui batas kemanusiaan, bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri?
Psikologi kekerasan domestik mengungkapkan peran penting stres, trauma masa lalu, dan kurangnya keterampilan penyelesaian konflik.
Memahami alur pikiran pelaku adalah langkah kunci untuk merancang pendekatan pencegahan yang efektif.
Terangkai dalam serangkaian pertanyaan etis dan hukum, faktor-faktor ini menjadi pusat penelitian dalam upaya mencegah tragedi berulang.
Bagaimana kita dapat membentuk masyarakat yang lebih aman, yang mengakui bahwa kekerasan adalah bentuk kelemahan, bukan kekuatan?
Bagaimana hukum dapat berperan sebagai penjaga yang efektif dan bukan sekadar pelayan formalitas?
Mengurai motif dan faktor pemicu ini bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan tugas bersama sebagai masyarakat.