Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Editor - Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekuntum Bunga Mawar

7 Desember 2023   19:55 Diperbarui: 7 Desember 2023   19:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana senja menyelimuti kota kecil yang tenang, memancarkan warna-warni langit saat matahari hendak menepi. Di tengah taman bunga yang indah, sebuah kafe kecil bernama "Mawar Putih" menyambut pengunjungnya dengan kehangatan dan aroma kopi yang menggoda.

Di salah satu sudut kafe, seorang wanita muda duduk sendiri di meja kecil yang terhias dengan sekuntum bunga mawar merah menyala. Nama wanita itu adalah Clara, seorang pelukis yang sering mencari inspirasi di tempat-tempat yang penuh keindahan.

Sementara Clara melukis di buku catatannya, datanglah seorang pria muda bernama Adrian. Adrian adalah seorang penulis yang mencari ketenangan untuk menyelesaikan novelnya yang tertunda. Dia terpesona oleh ketenangan taman kafe dan memutuskan untuk duduk di meja yang sama dengan Clara.

Baca juga: Cafe Love Notes

"Mawar-mawar ini indah sekali, bukan?" ujar Adrian dengan senyum ramah.

Clara mengangguk sambil tersenyum, "Ya, mereka memberikan inspirasi untuk melukis. Tidak ada yang seindah bunga mawar yang mekar."

Percakapan pun dimulai, dan mereka berdua terlibat dalam dialog yang alami dan ringan. Adrian menceritakan tentang novelnya yang masih belum selesai, sementara Clara berbagi tentang karya seninya yang menggambarkan keindahan alam.

Saat mereka berbicara, Clara tidak sengaja menyingkap sebuah lukisan mini di dalam tasnya. Itu adalah potret pria tua dengan senyum ramah dan sepasang mata yang penuh kebijaksanaan. Adrian menatap lukisan itu dengan rasa heran.

"Siapa dia?" tanya Adrian.

Clara tersenyum lembut. "Dia adalah kakek saya. Dia selalu memberiku sekuntum bunga mawar setiap kali saya merasa sedih atau bingung. Mawar merah adalah lambang cinta dan dukungan yang selalu mengiringi langkah-langkahku."

Adrian terkesima oleh cerita Clara. Dia merasa ada kehangatan khusus dalam kisah tersebut. Lalu, terbersitlah ide di benaknya.

"Mungkin aku bisa memasukkan kisah tentang bunga mawar ini ke dalam novelku," ujar Adrian. "Ini memberikan dimensi emosional yang mendalam."

Clara tersenyum setuju, dan seiring waktu berlalu, hubungan mereka pun semakin dekat. Mereka sering bertemu di kafe "Mawar Putih" untuk berbagi cerita dan saling memberikan dukungan.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, Clara datang dengan senyum yang redup dan mata yang berkabut. Bunga mawar merah yang biasanya selalu bersemangat kini tampak layu di atas meja.

"Ada sesuatu yang terjadi, Clara?" tanya Adrian khawatir.

Clara menelan ludah sejenak sebelum berkata, "Kakekku meninggal dunia. Dia telah memberi aku cinta dan inspirasi sepanjang hidupku. Saya merasa kehilangan dan sedih."

Adrian merasa hancur melihat Clara yang terluka. Dia menggenggam tangan Clara erat-erat dan berkata, "Saya di sini untukmu. Mungkin kita bisa menyalurkan perasaanmu ke dalam lukisan atau kata-kata. Kita bisa membuat kisah tentang bunga mawar sebagai penghormatan kepada kakekmu."

Clara mengangguk sambil tersenyum melemahkan, "Terima kasih, Adrian. Kita bisa melakukannya bersama-sama."

Mereka pun bersama-sama memulai proyek kreatif yang menggabungkan seni lukis dan tulisan. Adrian menulis cerita yang indah tentang bunga mawar merah dan cinta yang abadi, sementara Clara melukis potret kakeknya dengan hati yang dalam.

Pada suatu hari, mereka menggelar pameran seni di kafe "Mawar Putih." Lukisan Clara dan tulisan Adrian menjadi pusat perhatian pengunjung. Banyak yang tergerak oleh keindahan karya mereka dan kisah di baliknya.

Pameran seni itu tidak hanya menjadi wujud penghormatan untuk kakek Clara, tetapi juga menginspirasi banyak orang. Kafe "Mawar Putih" menjadi saksi bisu dari perjalanan dua jiwa yang terhubung melalui seni dan bunga mawar merah.

Dengan senyum di wajahnya, Clara melihat sekitar kafe yang kini dipenuhi dengan suasana kehangatan. Dia tahu bahwa, meskipun kakeknya sudah pergi, jejaknya tetap hidup dalam cerita, lukisan, dan bunga mawar merah yang selalu mekar di setiap kisah baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun