Dengan penolakan tersebut, RUU DKJ seakan mendapatkan lampu hijau dari mayoritas parlemen, menjadikan keputusan tersebut semakin terasa final. Namun, bukan berarti perdebatan berakhir di situ.
Opini masyarakat terpecah, dan pandangan mengenai keputusan tersebut bervariasi. Ada yang merasa bahwa PKS memberikan suara penolakan dengan landasan yang kuat, mewakili suara hati konstituennya.
Di sisi lain, ada yang menduga bahwa PKS melakukan penolakan dengan pertimbangan politik tertentu. Semua spekulasi ini memperumit situasi politik.
Dalam konteks ini, apakah PKS akan terus berada di luar rel politik DKJ, ataukah akan ada perubahan arah yang mengejutkan? Tentu, ini sebuah pertanyaan publik yang mungkin masih menggantung di udara.
Tetapi yang pasti, RUU DKJ terkait pasal 10 Ayat 2, akan membuka peluang bagi segelintir orang untuk mendapatkan "Golden Ticket" dari Presiden.
Golden ticket ini merujuk pada peluang emas atau kesempatan langka untuk mendapatkan keuntungan atau jabatan yang strategis "sebagai Gubernur DKJ".
Namun, politik bukanlah ilmu pasti. Terdapat banyak variabel yang dapat mempengaruhi dinamika politik, dan seringkali kejutan muncul dari arah yang tidak terduga.
Proses seleksi dan penetapan Gubernur DKJ dapat membuka pintu bagi figur politik yang mungkin belum mendapatkan sorotan sebelumnya.
Mereka yang memiliki visi jelas, rekam jejak yang bersih, dan kemampuan membangun konsensus mungkin akan menjadi kandidat yang diuntungkan dalam persaingan ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Daerah Khusus Jakarta akan mendapatkan pemimpin yang mampu membawa perubahan positif, ataukah akan terjebak dalam permainan kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir orang?
Keberhasilan atau kegagalan RUU DKJ dalam menciptakan sistem kepemimpinan yang efektif dan akuntabel akan menjadi penentu arah politik DKJ ke depan.