Sejak puluhan tahun yang lalu, Bandung, Jawa Barat, telah menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarahnya yang dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Konsep tata kota dan arsitektur Eropa yang diperkenalkan pada masa itu masih membentuk ciri khas bangunan-bangunan bersejarah yang berdiri megah di tengah kota hingga saat ini.
Perubahan dramatis dalam tata kota Bandung dimulai pada awal abad ke-19, seiring dengan langkah-langkah ambisius Gubernur Jenderal Daendels yang memprakarsai pembangunan Jalan Raya Pos. Jalan yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan ini tidak hanya menjadi poros penting, tetapi juga menandai era baru dalam sejarah urbanisasi kota.
Pemindahan ibukota karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung membuka babak baru dalam pertumbuhan kota. Pertumbuhan populasi Belanda yang pesat diikuti dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur kelas atas yang memenuhi kebutuhan mereka. Jalan Asia-Afrika, dengan keindahannya, menjadi ikon Kota Bandung, sementara Pendopo Kabupaten Bandung mencerminkan perubahan penting dalam pemerintahan lokal.
Pertengahan abad ke-19 melihat Bandung berkembang menjadi pusat kota setelah pemindahan ibukota karesidenan Priangan. Ekonomi, infrastruktur, dan fasilitas publik tumbuh pesat, menciptakan fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan kota.
Mobilisasi orang Belanda pada awal abad ke-20 membentuk wajah baru Bandung. Perkembangan pemukiman, transportasi, dan sektor ekonomi dipengaruhi oleh hadirnya orang Belanda, menciptakan lapisan masyarakat Eropa yang kental.
Tahun 1916 mencatat usulan ambisius Gubernur Jenderal Van Heutsz untuk menjadikan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda. Gagasan ini memicu pembangunan gedung-gedung monumental, seperti Gedung Sate, yang tetap menjadi ciri khas Bandung hingga sekarang.
Albert Aalbers, arsitek ternama pada tahun 1930-an, memberikan sentuhan artistik pada desain rumah Eropa di Bandung. Gaya arsitektur yang sederhana namun mempertahankan unsur-unsur tradisional menjadi landasan bagi banyak bangunan bersejarah.
Meskipun rencana pemindahan ibukota terhenti akibat Perang Dunia II, jejak kolonial Belanda masih berdiri teguh. Pasca-kemerdekaan, undang-undang cagar budaya tahun 2010 dan 2011 mendorong pelestarian bangunan bersejarah, menghidupkan kembali perhatian terhadap warisan kolonial di Bandung.
Saat kita melangkah ke masa depan, Bandung tidak hanya menjadi pusat kemajuan dan inovasi, tetapi juga sebuah kota yang menyimpan nilai-nilai historis yang berharga. Memelihara dan merayakan warisan kolonial ini adalah komitmen kita untuk melestarikan akar-akar sejarah yang membentuk identitas kota ini.
Ketika mata melihat bangunan-bangunan bersejarah di Bandung, seperti Gedung Sate yang menjulang gagah, kita tidak hanya menyaksikan keindahan arsitektur, tetapi juga menyentuh sejarah yang terpatri dalam setiap batu bata. Jalan Asia-Afrika, dengan balutan arsitektur Eropa klasiknya, membawa kita kembali ke masa di mana kota ini menjadi saksi perjalanan diplomatik antar bangsa.
Ditengah perkembangan tersebut, masyarakat Bandung memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat warisan bersejarah ini. Undang-undang cagar budaya menjadi pendorong untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian, tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap masa lalu, tetapi juga sebagai investasi dalam identitas dan karakter kota.
Melangkah ke depan, Bandung terus menjadi pusat kreativitas dan inovasi. Namun, melestarikan akar sejarahnya adalah kunci untuk memastikan bahwa pertumbuhan ini tidak terjadi tanpa mempertimbangkan warisan yang telah membentuknya.
Bandung bukan hanya kota modern yang penuh energi, tetapi juga kustodian dari kisah-kisah masa lalu yang patut dijaga dan diceritakan untuk generasi yang akan datang.
Dengan merangkul warisan kolonialnya, Bandung menunjukkan bahwa kebesaran kota tidak hanya terletak pada masa depannya, tetapi juga pada akarnya yang kuat dalam sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H