Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Ke-8 Republik Indonesia pada pemilu 14 February 2024, kini sudah memasuki tahap kampanye.
Netralitas aparatur sipil negara (ASN), yang seharusnya menjadi pilar kestabilan dan keadilan dalam proses demokratisasi, kini menjadi sorotan publik.
Dalam konteks ini, publik menilai bahwa akan adanya kemungkinan potensi keterlibatan ASN dalam politik praktis.
Hal tersebut, memancing beberapa pertanyaan terkait, "Sejauh mana netralitas ASN masih dapat dianggap sebagai pilar penyangga demokrasi ataukah telah berubah menjadi pion politik yang menggerus esensi dari proses demokrasi itu sendiri?"
Netralitas ASN sejatinya mencerminkan prinsip bahwa aparatur sipil negara, yang termasuk pegawai negeri sipil (PNS), harus menjalankan tugas dan fungsi pemerintah tanpa adanya intervensi politik yang bersifat partisan.
Konsep ini, pada prinsipnya, bertujuan untuk memastikan bahwa proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan program-program publik tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik kelompok tertentu, melainkan semata-mata untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Namun, dalam realitasnya, banyak kasus menunjukkan bahwa netralitas ASN sering kali menjadi tanda tanya.
Terdapat indikasi keterlibatan ASN dalam kampanye politik, mendukung calon tertentu, bahkan sampai pada pelanggaran aturan terkait netralitas.
Akibatnya, muncul pertanyaan terkait, "Apakah netralitas ASN masih bisa dianggap sebagai pilar netralitas atau sudah menjadi pion politik yang turut serta dalam pertarungan kekuasaan?"
Tentu, sebelum kita lebih jauh memahami akan kompleksitas netralitas ASN, perlu untuk terlebih dahulu menggali makna sejati dari netralitas tersebut dalam konteks demokrasi.
"Netralitas ASN sejatinya adalah jaminan bahwa setiap langkah yang diambil oleh pemerintah dan pelaksanaan kebijakan tidak terpengaruh oleh dinamika politik."