Jerusalem, kota yang merintih,Dalam gemuruh senjata dan kehancuran,
Reruntuhan batu bersaksi bisu,
Kisahmu tertulis dalam sejarah yang kelam.
Di tengah debu yang terangkat,
Berdiri tembok-tembokmu yang megah,
Saksi bisu zaman yang berganti-ganti,
Menyimpan cerita ratusan tahun yang terluka.
Dinding-dindingmu menangis di malam gelap,
Saksi bisu perdebatan yang tak kunjung usai,
Namun, di setiap retak dan celahmu,
Terlukis keindahan sejarah yang menggugah hati.
Jerusalem, kota yang merintih,
Namun di dalam rintihanmu,
Terdapat melodi kehidupan yang abadi,
Mengalir dalam sungai-sungai kenangan.
Bawah bayangan Kubah Batu yang mulia,
Dan di sepanjang jalan-jalan berliku,
Berjajar cerita kuno dan doa-doa,
Menyatu dalam irama kesederhanaan.
Di dalam pasar-pasar yang riuh,
Aroma rempah-rempah dan kopi menyatu,
Merayakan persatuan di antara perbedaan,
Seperti harmoni dalam keberagaman.
Jerusalem, kota yang merintih,
Tetapi cahayamu tak pernah padam,
Seperti bintang-bintang di langit malam,
Menyinari jalan menuju perdamaian.
Meski air mata mengalir di jalanmu,
Dan tembok-tembokmu menangis hujan deras,
Kau tetap menjunjung tinggi keindahanmu,
Sebuah kota yang hidup dalam sejarah.
Jerusalem, kota yang merintih,
Biarlah puisi ini menjadi doa,
Untuk kebahagiaanmu yang tulus,
Dan perdamaian yang tak terbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H