Mohon tunggu...
Vinofiyo
Vinofiyo Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh negara

Pria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Masih Tangguhkah Minuman Cap Badak?

5 September 2021   09:00 Diperbarui: 9 September 2021   14:58 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Varian minuman cap badak. Sumber: sajiansedap.grid.id

Meski sering sarapan di kawasan Pondok, yang merupakan Pecinannya Kota Padang, baru kali ini saya mencoba warung ini. Seperti biasanya, saya akan memesan mie ayam atau bubur dan tentu saja secangkir kopi.

Ketika semangkuk mie ayam sudah pindah ke dalam perut, sayapun menyeruput kopi sambil tak lupa ditemani sebatang rokok. Memang begitulah ritualnya selama puluhan tahun, sebelum memulai hari-hari.

Sambil menikmati suasana, mata saya melihat botol minuman yang tidak pernah saya temukan di Kota Padang ini. Dulu, sewaktu masih tinggal di Aceh ataupun saat berada di Medan, sesekali saya menemukannya.

Namun saat itu, saya tidak begitu memperhatikannya. Entah karena merasa bernostalgia atau cuma karena merasa aneh melihatnya, kali ini saya sungguh tertarik. Ya, itu dia, minuman Cap Badak, produknya Kota Pematang Siantar.

Minuman Cap Badak yang sekarang ada didepan saya, merupakan produk legend. Sudah ada sejak tahun 1916, sebelum Coca Cola masuk ke Indonesia. Awalnya didirikan oleh Heinrich Surbeck di Pematang Siantar, sekitar 125 km dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. 

Pasang surut mewarnai perjalanan perusahaan, termasuk terbunuhnya sang pendirinya saat revolusi kemerdekaan. Perusahaan yang awalnya bernama NV. Ijs Fabriek Siantar sekarang sudah berganti nama menjadi PT. Pabrik Es Siantar.

Setelah itu bermunculan minuman merk lain di berbagai daerah yang dijajakan di warung-warung. Rata-rata usahanya masuk kategori industri rumah tangga. 

Minuman seperti ini, begitu juga minuman botol kaca yang lain, biasa ditemukan sewaktu saya masih kanak-kanak. Berarti antara tahun 70 sampai dengan 80an. Tapi sekarang ?. 

Susah dicari karena rata-rata soft drink produk lokal sudah pada gulung tikar. Habis digempur minuman merk global maupun nasional yang botolnya dari plastik. 

Silakan cari di swalayan, dijamin tidak akan ditemukan. Bahkan di warung-warung kampung sudah sangat langka, diganti minuman kekinian dalam kemasan plastik yang habis diminum bisa langsung dibuang.

Seingat saya, dahulu ada air soda tawar ataupun manis yang rasanya enak dan menyegarkan bila dicampur susu kental manis ditambah es batu. Dipercaya bisa menghilangkan panas dalam. 

Ada juga rasa jeruk atau nanas yang berwarna kuning. Juga ada yang berwarna merah. Kita hanya membeli minumannya karena kemasan botol kaca akan diserahkan kembali oleh penjual pada produsen. Kalau mau dibawa pulang maka minuman dipindahkan ke plastik dan diberi sedotan.

Terkadang saya ingin juga menikmati minuman kaleng. Tapi apa daya, uang jajan saya tidak sanggup membelinya. Lagipula tidak ada warung di dekat rumah yang menjualnya. Kalau mau harus beli di toko besar yang letaknya jauh di pasar. Tapi tetap saja uang saya tidak cukup. 

Dalam pandangan saya minuman kaleng adalah untuk orang kaya. Cukuplah saya sebagai anak-anak dan kelas rakyat jelata membeli yang botolan.

Waktu berlalu dan masa berputar. Dari anak sekarang tak terasa saya sudah menua. Taraf hidup juga ikut berubah. Namun masa lalu tidak akan pernah terlupa meski berbagai hal baru terus berdatangan. Seenak apapun makan di restoran berkelas, yang namanya ikan asin tetap selalu saya rindukan.

Minuman merk global yang dahulu mahal, sudah bisa dinikmati semua kalangan. Sehari-harinya orang sudah biasa membelinya karena sudah tersedia di warung dekat rumah dan harganya juga murah. 

Saat lebaran tiba, beberapa kardus minuman kaleng pasti stand bye di rumah. Tidak perlu capek membuat sirup yang dahulu kadang ditambah gula oleh tuan rumah supaya terasa manis dan sirup tidak cepat habis. 

Minuman cap badak. Sumber: Grid.id
Minuman cap badak. Sumber: Grid.id

Setelah kopi habis, saya segera bersiap pergi namun tak lupa memesan Cap Badaknya. Seperti dahulu, botol dibuka dan dipindahkan ke dalam plastik. Tak lupa sebuah sedotan juga diselipkan. 

Sambil menyetir sayapun minum. Rasanya.....? Lebih enak dan segar dari merk impor. Bisa dibilang, mood saya jadi naik, mungkin karena sudah lama tak mencicipinya. Atau bisa juga terbawa ke suasana kanak-kanak saat tak kenal rasa susah. Entahlah.

Tapi sampai kapan Cap Badak bisa bertahan sehingga saya bisa selalu mendapatkannya. Dalam dunia perhewanan, badak adalah satwa tangguh. Namun ketangguhan fisiknya tak mampu melindungi dirinya dari ancaman kepunahan. 

Prinsip yang sama juga berlaku untuk produk minuman khususnya produk lokal. Meskipun rasanya tidak kalah dengan produk Amerika, namun kehebatan pemasaran membuat Cap Badak juga terancam punah.

Ia kalah dari segi teknologi dan marketing, sehingga persepsi orang jadi berubah. Apalagi kita gampang dininabobokan oleh iklan. Membeli sesuatu akhirnya jadi masalah gengsi, bukan lagi soal rasa.

Mungkin ada baiknya kita belajar kepada industri bir Jerman. Bir paling digemari adalah produk Jerman. Namun untuk mendapatkannya anda harus datang ke negara itu karena tidak ada perusahaan bir Jerman yang melakukan ekspor. 

Semua produsen adalah industri skala kecil yang bersifat lokal dan tiap daerah punya merk bir sendiri dengan konsumen fanatiknya adalah warga lokal. Tidak ada produsen bir global yang berani memasarkan produknya kesana. Warga Jerman mencintai produk lokal mereka yang kualitasnya diakui dunia. 

Hal yang sama juga berlaku untuk produk susu Jepang. Warganya tidak mau mengkonsumsi susu kemasan. Mereka hanya mau susu dari produsen lokal karena terjamin mutu dan kesegarannya. Tidak ada produsen global yang sanggup membuka pabrik susu disana.

Kita juga bisa berperilaku demikuan, asalkan sanggup merubah pola pikir. Yang dari luar belum tentu yang terbaik. Jangan lagi tergoda dengan iklan. Kalau sudah demikian, maka Cap Badak akan tetap tangguh seperti namanya. Jangan biarkan ia diambang kepunahan. Termasuk juga produk asli Indonesia lainnya.

Mari kita buktikan, bahwa cinta kepada negara tak hanya berupa kata-kata, tapi juga dengan membeli produknya.

Salam.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun