Memberi kebahagiaan itu gampang. Tidak perlu jalan rumit dan berliku-liku untuk sampai ke tujuan. Tidak usah menunggu waktu tertentu untuk melakukannya. Hanya perlu usaha kecil dan bisa dilakukan siapa saja, bukan temporal tapi kapanpun bisa. Sederhana saja.
Memberi senyum kepada penjaga saat ia membukakan pintu, menyapa bawahan setiap pagi atau sesekali menyantuni anak-anak panti asuhan meski cuma dengan nasi kotak termasuk cara mudah membuat orang bahagia. Â
Berbagi kesenangan pada orang lain tidak hanya sekedar ibadah, tetapi juga akan jadi obat bathin si pemberi.Â
Namun kadangkala memberi kebahagiaan itu tidak mudah, butuh jalan panjang dan memutar. Butuh usaha berat dan lama, tapi semua itu terbayar lunas ketika dia dan kita akhirnya sampai di sana. Live happily forever so the stories goes.
Tapi pernahkah terlintas dalam pikiran anda, bahwa membuat seseorang bahagia justru menyebabkan penderitaan (mungkin selamanya) bagi orang lain. Ibaratkan saja seorang tukang jagal yang membuat konsumennya senang karena memperoleh daging segar dengan harga terjangkau, tapi disisi lain justru membuat hewan yang dijagal jadi tamat riwayatnya ?. Mudah bagi pemilik, pedagang dan penjagal, tapi ruwet bagi si hewan.
Mungkin perumpamaan di atas berlebihan dan membuat tidak nyaman tapi kira-kira demikianlah yang saya alami. Seseorang mungkin happy dan terpuaskan sedangkan di sebaliknya ada manusia (merasa) terzalimi, sedang saya menganggap biasa saja dan memang begitulah seharusnya. Bagaimana bisa demikian? Saya akan kisahkan sebagian kecil dari banyak kejadian yang sering saya alami.
Suatu siang yang terik, ruangan saya menjadi "panas" dengan kedatangan sepasang suami isteri yang cukup tua. Wajah kusut dan lelah, menyiratkan penderitaan tak berujung yang mereka alami. Kepada saya mereka memohon agar melepaskan segala beban berat dan rasa letih yang bertahun-tahun mereka lalui.
"Dia anak lelaki satu-satunya, harapan buat masa tua kami. Tapi kami telah kehilangan dengan cara yang tidak sepantasnya. Kami ingin keadilan dengan hukuman seberat-beratnya. Nyawa harus dibalas nyawa!" kata si suami diikuti derai air mata isterinya.
Saya paham mereka dendam. Saya coba beri pengertian bahwa tak ada qisas di negara ini. Kalaupun keinginannya terpenuhi, harus melalui syarat dan indikator tertentu yang harus dipedomani. Lagipula, tangan saya bukan alat untuk melampiaskan dendam, hanya sekedar menjalankan tugas. Mereka kemudian pergi membawa muka yang lebih kusut dari awal kedatangannya.Â
Beberapa waktu setelah itu, saat makan siang sendirian di restoran, meja saya didatangi dua orang pria berpenampilan rapi. Meski tidak kenal, namun karena sopan dan minta izin untuk duduk, saya pun mengizinkan.Â
Setelah berbasa-basi sekedarnya, mereka mengatakan maksudnya untuk minta bantuan. Mereka mengaku sebagai keluarga si pelaku kejahatan terhadap anak suami isteri yang tadi saya sebutkan diatas. Salah satu di antaranya lalu memohon bantuan untuk memberi keringanan bagi pelaku, dengan iming-iming tertentu. Ah, mereka mencoba menyuap saya.
Selera makan saya langsung hilang. Tanpa bicara apa-apa saya langsung berdiri dan menuju ke kasir, membayar makan yang belum habis setengahnya. Saya pergi, tak menoleh lagi ke belakang, tak peduli apa reaksi mereka.Â
Singkat cerita, akhirnya si pelaku memperoleh bagiannya, seluruh hidupnya akan dihabiskan dibalik penjara sebagai imbalan atas perbuatannya. Meski tak bicara apa-apa, saya yakin ia tidak rela, tapi mau bagaimana lagi. Tentu ia menderita namun itulah kenyataan yang mesti dihadapi sebagai imbas perbuatannya yang tidak menghargai nyawa manusia. Selesai sudah tugas saya.
Saat hendak pulang, sebelum sampai di mobil, saya dicegat lagi oleh suami isteri yang dulu menemui saya. Wajahnya tidak lagi kusut, telah ada cahaya hidup dimatanya, sudah lepas mungkin bebannya. Si suami kemudian menyampaikan maksudnya.
"Kami mengucapkan terima kasih Pak. Kami sudah memperoleh keadilan. Kami tidak lagi merasa resah karena keadilan untuk anak saya sudah diberikan".
"Syukurlah, apakah anda sudah memaafkan dan tidak lagi menyimpan dendam?" tanya saya.
"Tidak Pak, saya sudah memaafkan. Meski dia tetap hidup tapi kami sudah mendapat keadilan. Tak  guna lagi menaruh dendam".
Saya mengangguk dan bersiap untuk beranjak. Namun niat ini terpaksa ditunda karena kali ini si isteri yang bicara lagi.
"Kami juga minta maaf atas kedatangan dua orang yang menemui Bapak dan meminta agar si pelaku diberi keringanan. Mereka sebenarnya keluarga saya juga".
Saya teringat kedatangan dua pria yang mencoba "menggoda" saya. Sungguh saya jadi kesal, ternyata mereka sengaja mengirim orang untuk menguji saya. Namun saya berusaha bersabar, tak mau menumpahkan kemarahan, lebih baik saya tanya saja alasan perbuatan mereka
"Maklumlah Pak, kami orang kecil dan tidak tahu harus berbuat apa. Kami takut akan diperlakukan sewenang-wenang. Sekarang, kami sudah lihat sendiri jika keadilan itu ternyata ada. Sekali lagi kami mohon maaf, Pak".
"Sudahlah, saya mau pulang" kata saya. Mereka kemudian menyalami saya (saat itu salaman belum dilarang, belum ada Covid-19) dengan wajah yang semringah.
Dalam perjalanan pulang, saya jadi bertanya-tanya. Beginikah cara saya untuk memberi kebahagian pada orang lain? Saya tahu mereka bahagia sebagai akibat tindakan saya. Tapi tak bisa dipungkiri jika ada orang lain yang jadi menderita meski itu sudah sewajarnya. Lalu apakah saya berbahagia?Â
Sedikit atau banyak saya bahagia, tapi bukan untuk mereka. Namun hanya untuk diri sendiri, karena berhasil menjaga diri dan kehormatan saya. Setidaknya sampai hari ini.
Sekian, mohon maaf jika cerita saya membuat anda tidak nyaman.
Note :
Qisas; pembalasan dari korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama seperti perbuatan pelakunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI