Mohon tunggu...
Vinofiyo
Vinofiyo Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh negara

Pria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menikmati Gulai Kambing Mak Sali di Kala Masa Transisi

19 Juni 2020   08:00 Diperbarui: 22 November 2020   18:58 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan foto : Mak Sali sedang melayani pembeli. Doc.pribadi.

Kalau ditanya apakah sudah boleh berlibur atau belum, saya akan jawab sudah. Berlibur adalah hak asasi dan tak boleh dilarang. Lho, ini kan lagi pandemi Covid 19, PSBB atawa transisi ? Biar saja, yang penting caranya. Percuma juga kamu liburan, kan tempat wisata dan hotel tutup !. Silahkan saja ditutup, memang kamu kira saya mau kesana ?.

Sudah berbulan-bulan lamanya kami sekeluarga ngumpul di rumah, tak kemana-mana kecuali untuk kebutuhan mendesak seputar urusan dapur. Sesuai imbauan pemerintah maka saya kerja di rumah alias WFH, si abang yang kelas 4 SD belajar lewat daring, sedangkan "mantan pacar", sekarang sudah  jadi nyonya rumah mengasuh si adek yang masih balita sekaligus mengurus semua keperluan keluarga. 

Meski stay at home itu menyenangkan dan mengirit biaya, namun karena kebiasaan kami yang suka jalan sebelum ada corona, maka lama-lama jadi mumet juga. Maka saat fase new normal datang muncul pula harapan untuk kembali ke hobi lama. Sebelumnya kami selalu pergi ke tempat wisata mainstream, kulineran di resto kondang dan menginap di hotel berbintang. Kali ini harus diubah, selain karena vaksin corona belum ada, kantong juga masih cekak karena THR tidak full diterima. 

Akhirnya, setelah mengingat dan menimbang kesana kesini, atas bawah kiri kanan, didapat jua pilihan. Sejujurnya, bukan ide orisinal saya tapi nemu di chanel youtube @herlina basri yang menceritakan lezatnya gulai kambing Mak Sali di Pasar Sungayang, Kabupaten Tanah Datar. Kayaknya mantap habis dan bikin penasaran, kok saya yang notabene punya kampung disana bisa tidak tahu ?. Selain itu saya sangat yakin kalau tempatnya bukan jalur utama wisatawan, jadi aman dan tenanglah pokoknya.

Singkat cerita, pada hari Minggu, saya dan istri serta kedua jagoan saya berangkat dari Kota Padang menuju ke Kota Batusangkar, ibu kota Kabupaten Tanah Datar. Sekitar dua jam sampailah di Batusangkar dan saya ambil jalan menuju Lintau. Sawah yang menghijau hingga ke kaki bukit seolah menyambut kedatangan kami, para wisatawan masa PSBB transisi. Tidak lama kami pun sampai di "Nagari" Sungayang, tepatnya di depan balai atau pasar nagari.

Saya dan si abang turun duluan, dengan tujuan untuk mencari warungnya, maklum masih "gelap" keberadaannya. Setelah memasuki pasar kecil yang tidak ada satupun pedagang dan pembelinya, akhirnya saya temukan lokasinya. Kamu mungkin heran kenapa tak ada orang di pasarnya ?. Pasar nagari di Sumatera Barat hanya buka sekali seminggu dan tempat yang saya kunjungi bukanya pada hari Senin, jadi wajar saat itu sepi.

Tanpa pikir panjang lagi saya langsung telpon isteri yang masih di mobil bersama si adek dan menyuruhnya jalan lurus sekitar 50 meter menuju warung. Kami pesan gulai kambing yang kelihatan pedas dan segera makan siang. 

Meski kelihatan pedas karena kuahnya yang berwarna merah menyala, namun saat masuk ke mulut justru rasa rempah-rempah yang lebih kentara sehingga daging kambing yang dimasak sampai empuk makin  berasa gurih. Justru pedasnya berasal dari sambal jengkol cabe hijau yang tersedia gratis di meja. 

Tak cukup sepiring, saya minta tambuah (nasi tambah dalam piring kecil) sedangkan si abang yang memang penggemar gulai kambing malah sampai nambah dua kali dan piringnya licin tak bersisa. Benar-bena mak nyuss (mengikuti gaya almarhum Bondan Winarno) atau lazzis (menurut Benu Buloe). Tak percaya ? Ini penampakannya :

20200614-125252-5eea3041097f36090b59eec2.jpg
20200614-125252-5eea3041097f36090b59eec2.jpg
Selain makanan enak, kami disuguhi suasana rumah makan yang betul-betul berasa kampung. Meja kursi kayu sederhana berikut bale-bale kecil dan disebelahnya dapur, tempat makanan dimasak dalam kuali besi besar dengan tungku kayu yang asapnya naik ke loteng dan menyisakan warna kehitaman. Tapi meski demikian, seperti semua rumah makan Padang di Sumatera Barat kebersihannya tetap terjaga. 

Hanya kami pembeli dari luar, sisanya warga di dekat pasar, semuanya kenal dan akrab dengan Mak Sali, pelayan, juru masak merangkap bos rumah makan. Jangan keliru ya, meski dipanggil Mak tapi Mak Sali bukan perempuan, namun lelaki sejati. Mak itu singkatan dari Mamak yang artinya Paman. Orang Minang lazim memanggil mamak ketimbang panggilan bapak karena kesannya lebih akrab.

Sejujurnya, saya belum pernah mengajak anak dan istri makan di tempat beginian. Semula saya kira mereka kurang berkenan karena turun kelas, eh.. tak tahunya mereka malah kesenangan. "Asyik juga makan disini, udah enak murah lagi, nanti kalau jalan-jalan lagi kita cari tempat kayak gini aja" kata isteri saya. Kalau saya sih dulunya sering makan ditempat beginian, waktu bujangan dan masih susah, hehe..

Urusan makan sudah kelar dan waktu sholat Zuhur datang sehingga kami segera mencari mesjid. Sekitar 2 kilometer dari sana, tepatnya di Nagari Tanjung, kami menemukan mesjid raya dengan tempat parkir yang luas. Sholat jamaah sudah selesai sehingga mesjid jadi sepi. Di sebelah tempat wudhu ada sungai kecil dengan air yang mengalir di sela bebatuan. 

Habis sholat si abang langsung main ke sungai bersama bundanya sedangkan saya menjaga si adek di dalam mesjid. Tak mungkin membawanya ke sungai sebab si adek pantang melihat air, bawaannya langsung mau main, padahal kami tak bawa baju ganti. Kalau si abang sudah bisa diatur, ia bisa menjaga pakaiannya tidak basah kuyup.

img-20200618-wa0044-5eeb7286097f3630e5663b32.jpg
img-20200618-wa0044-5eeb7286097f3630e5663b32.jpg
Warga kampung itu mungkin tak menyadari keindahan sungai di nagarinya atau mungkin sudah terbiasa sehingga tidak norak seperti kami. Tapi biarlah, yang penting happy. Siapa sangka justru kami menemukan spot menarik justru di lokasi yang tidak terpetakan oleh traveller lain. 

Hari sudah menjelang sore dan waktunya untuk pulang karena memang tidak ada rencana menginap. Kali ini saya menyetir dengan santainya menuju Kota Padang, sambil mengobrol dengan isteri dan sesekali disela kedua jagoan kami. Apa yang kami percakapkan ?. Tak lain dan tak bukan tentang asyiknya perjalanan kali ini. 

Tak perlu ke tempat wisata, makan di resto kondang dan menginap di hotel berbintang. Meski masih masa transisi yang penting adalah menyiasatinya dengan menghindari keramaian dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Kami sepakat, ada yang salah dengan cara berlibur selama ini, bukan karena corona tapi justru cara menikmatinya saja. Akhirnya saya pun janji kapan-kapan akan pergi jalan lagi mencari suasana beda, menyusuri kampung-kampung, tak lagi mengulang gaya liburan seperti sebelumnya. Ya, bahagia itu sederhana.

Sekian.

Note :

Nagari : Wilayah administratif dibawah kecamatan yang dulunya merupakan kesatuan masyarakat adat dengan beberapa suku.

Tambahan

Saya mengunjungi kembali rumah makan ini pada tanggal 22 November 2020 namun tidak melihat kehadiran Mak Sali. Ternyata beliau telah berpulang pada tanggal 5 Juli 2020, tak lama setelah kunjungan pertama saya. Alfatihah untuk Mak Sali, semoga beliau diterima disisi-Nya. Amin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun