“Dasar pekerja bego!” Hardik seorang bocah ingusan setelah ibu kandungnya mengucapkan hal yang sama kepada salah satu pekerja di konveksi yang mereka miliki.
Tak lama si bocah menangis, menjerit dan mengobrak-abrik mesin jahit di rumahnya. Beberapa pekerja berupaya untuk menghentikan kelakuannya. Namun tetap saja nihil. Jiwa si bocah memang terlalu labil. Ia seringkali melakukan hal-hal yang membuat orang sekitarnya ingin menyentil. Pernah pula ia hampir ingin membakar rumah konveksi itu karena mainan yang diinginkan tidak kunjung dikabulkan oleh ayah dan ibunya. Sang ayah hanya bisa menampar anak pertamanya itu. Sang ibu hanya bisa melakukan kekerasan secara verbal. Anjing, babi, bangsat, brengsek, merupakan sederet kata yang sering ia teriakan di depan si bocah. Begitu mudahnya kata-kata itu ia keluarkan, terlebih kepada buah hati yang masih berusia 10 tahun itu.
“Lu orang pengen apa lagi, hah? Jangan bikin gara-gara lagi, lah! Mau lu orang gue usir dari sini?” si ayah memarahi Liu, si bocah yang kembali labil.
“Gue pengen barbie kayak cici sebelah! Pokoknya pengen barbie!” teriak Liu sambil guling-gulingan di atas lantai.
“Lu orang belajar aja masih belom becus, belajar sana yang benar!”
Si ibu lalu menghampiri mereka berdua.
“Heh anak bego, kelakuan lu lama-lama udah kayak anjing!” teriak si ibu sambil mengambil sebuah gunting di atas meja. Ku kira ia akan menggunting mulut anaknya. Syukurlah gunting itu ternyata akan ia berikan kepada salah satu pekerjanya.
Setiap hari aku melihat rumah konveksi itu. Pintunya selalu terbuka lebar. Teriakan keluarga mereka sudah menjadi makanan sehari-hariku selain lauk pauk yang ku santap di depan sebuah warung sunda yang persis berada di depan rumah itu.
Setiap hari aku melihat banyak pekerja yang menjahit, mengobras, melipat dan membungkus baju-baju. Mereka selalu memasang wajah yang memilukan. Mungkin mereka jenuh dengan pekerjaannya. Mungkin mereka tidak puas dengan upah yang telah diberikan. Atau mungkin mereka telah terlalu letih mendengarkan keluarga majikannya marah-marah. Aku hanya menebak.
Di rumah itu turut pula seorang nenek yang menjadi nyonya besar. Ia adalah seorang janda. Aku tidak tahu siapa namanya. Aku hanya biasa memanggilnya Enci saja.
Enci tidak jauh berbeda dengan ibunda Liu yang juga anak perempuannya. Jika berkata ia tidak pernah berpikir dua kali terlebih dahulu. Sederet kata vulgar sering diucapkan kepada seluruh pekerjanya. Padahal di depan congor ada beberapa cucunya yang masih kecil-kecil. Bukankah itu contoh yang tidak baik bagi penerusnya?
Enci memiliki seorang berondong. Kata tetangga mereka selalu bercinta di salah satu hotel murah kawasan Tanah Abang. Aku tidak tahu apakah itu hanya isu belaka. Namun jika aku perhatikan wajah dan gelagatnya, memang selalu dapat diterka bahwa ia seperti ABG tua yang masih menyukai kesenangan. Terlebih, kesenangannya pada si berondong.
Mungkin si berondong itu telah ia susui. Mungkin si berondong selalu menyusui si Enci dengan senjata laras panjangnya. Melumat, menjilat, menyedot, ah pasti mereka telah melakukannya! Sekali lagi, aku hanya bisa menebak. Ah, tebakan yang sangat kotor.
Tidak jauh berbeda dengan si Enci, ibunda Liu telah diketahui memiliki simpanan. Katanya, si simpanan ini seorang bapak tua yang menjadi bos besar di salah satu toko sebuah mal. Dari si bos lah Enci Ling, panggilanku terhadapnya, diberikan modal untuk membuat sebuah rumah konveksi.
Namun di zaman edan seperti ini, pasti tidak ada satu pun orang mau memberikan sesuatunya tanpa pamrih. Termasuk si bos. Menurut bisikan tetangga, Enci Ling seringkali jalan berdua dengan si bos. Pulang-pulang pasti lehernya langsung berbekas merah. Seperti tiga minggu lalu, mereka berdua pergi ke Kota Hujan selama sepekan. Ketika telah sampai di rumah, seperti biasa lehernya merah. Salah seorang pekerjanya bertanya, “Ci, lehernya kenapa lagi?”
Enci Ling menjawab bahwa itu hanya bekas kerokan. Buru-buru ia segera ke warung untuk membeli salonpas dan langsung menempelkannya ke leher. Si suami yang tiba-tiba berada di depannya meminta pengakuan. Kemana aja lu orang bareng si bos? Apa aja yang lu orang lakuin? Kenapa merah-merah di leher lu musti ditutupin? Begitulah teriakan si suami yang aku dengar.
“Sono aja lu orang pergi dari sini, biar gue bisa kawin lagi!” Enci Ling berteriak dengan lantang. Si suami yang entah siapa namanya itu, segera mengemaskan pakaiannya dan pamit pulang ke Pontianak.
“Oke kalo itu mau lu. Gue pergi sekarang dan gak akan balik kesini!”
Aku hanya bisa bengong melihat potret keluarga itu. Kemudian merasa bersyukur karena terlahir dan besar di keluarga yang tidak 'bermasalah'. Ya Tuhan, ada-ada saja potret keluarga ini. Semoga mereka kelak menjadi orang yang lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H