Masalah perumahan dan pemukiman memang sudah menjadi tantangan bagi Ibukota Jakarta hingga hari ini. Hal ini terus terjadi karena perumahan tapak masih menjadi kebutuhan pokok bagi para penduduk Ibukota. Permasalahan lahan yang makin sempit terus menyebabkan harga tanah melonjak naik dan melejitnya harga properti perumahan di Ibukota Jakarta. Dengan total penduduk Jakarta pada tahun 2021, dilansir dari website BPS Jakarta, yaitu sebesar 10,56 juta jiwa, mereka mempunyai kebutuhan yang sama dalam kepemilikan aspek papan tersebut.
Masalah mulai muncul ketika masyarakat, terutama yang berpenghasilan menengah kebawah, mulai mendirikan bangunan rumah secara illegal di tempat-tempat utilitas seperti sungai, kolong jembatan, maupun di lahan-lahan kosong dekat kantor dan pusat fasilitas lainnya sebagai hunian. Perilaku tersebut tentu tidak hanya berdampak terhadap estetika Kota Jakarta, namun juga pada kesehatan dan kebersihan masyarakat yang menghuninya.
Pembangunan rumah secara illegal membuat penduduk tidak mendapatkan fasilitas yang selayaknya seperti jaringan listrik, air, dan lokasi yang sesuai standar kelayakan. Banyak solusi telah digagaskan oleh pemerintah Kota Jakarta, seperti pembuatan rusunawa, public housing, apartemen, dan berbagai program kampung hijau (Eni, 2015). Namun, diantara banyaknya pilihan vertical housing yang ditawarkan, budaya membeli perumahan tapak masih melekat di kalangan masyarakat Indonesia.
Hunian yang layak disinyalir hanya akan terjadi apabila tinggal di perumahan tapak. Karena permasalahan dan budaya tersebut, pembangunan perumahan mulai bergeser ke kota-kota satelit di sekeliling Ibukota Jakarta. Kota Satelit adalah kota-kota penyangga di tepi kota yang lebih besar, dan sebagian besar penduduknya bergantung pada kota utama.Â
Pengembang perumahan mulai mempromosikan kawasan sekitar Ibukota seperti Bogor, Depok, dan Tangerang. Dengan harga yang tanah yang dinilai masih relatif lebih murah, hal ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah. Lahan-lahan hijau di kawasan tepi seperti Maja, Tenjo, dan Serpong kemudian dihilangkan untuk dibangun perumahan tapak. Lantas, apakah pembangunan perumahan tapak di kota satelit untuk mendapatkan hunian yang layak, menjadi solusi bagi masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah?
Dilihat dari brosur dan spanduk perumahan murah yang digaungkan oleh developer maupun pemerintah, rumah tapak di Area Kota Satelit sudah bisa dibeli dengan harga sekitar 200- 500 juta-an, tergantung luas dan lokasi yang dipilih. Hal ini tentu sangat berbanding jauh dengan harga rumah di Kawasan Kota Jakarta. Namun, diluar harga pokok rumah yang dipromosikan, ternyata banyak biaya-biaya diluar itu yang harus disiapkan oleh calon pembeli rumah.
Terdapat biaya-biaya yang jarang disinggung oleh pihak penjual, seperti biaya notaris, biaya akad rumah, biaya balik nama, hingga bunga KPR yang dipilih. Harga-harga diluar biaya pokok dapat mencapai hampir 2x harga rumah yang ditawarkan. Masalah ekonomi tentu menjadi hal utama yang harus dipikirkan. Walaupun dengan rincian biaya yang lebih murah daripada ibukota, rumah di Kota Satelit sudah seharusnya bukan menjadi solusi dari perumahan padat bagi masyarakat berpenghasilan rendah Jakarta.
Selain masalah ekonomi yang setelah ditotal tetap mahal untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah, menurut saya, pembangunan perumahan di kota satelit, terutama Maja dan Tenjo, dapat menimbulkan masalah baru, sama dengan yang dialami kota Jakarta saat ini. Menurut saya, hunian tapak ini nantinya akan menjadi penyumbang terbesar masalah keterserapan air tanah. Rancangan tata ruang kota ini didesain dengan memaksimalkan lahan untuk pembangunan perumahan, tanpa memikirkan aspek manusia dan lingkungannya. Hal ini saya uraikan ke dalam beberapa aspek, yaitu lokasi, konsep tata ruang, dan kualitas sarana prasarana:Â
1. Lokasi Tapak Kawasan Maja dan Tenjo dapat ditempuh dari Ibukota Jakarta menggunakan kereta Commuter Line menggunakan jalur Tanah Abang dengan waktu tempuh 2 jam lebih. Kota satelit ini juga dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi seperti motor dan mobil dengan waktu yang relatif sama.
Dengan jarak dan kemacetan yang cukup tinggi, (Tondok, 2009) berpendapat bahwa, kemacetan dan kepadatan lalu-lintas telah menjadi salah satu stressor lingkungan fisik perkotaan yang utama. Apabila perumahan kota satelit ditujukan untuk para pekerja kantoran di DKI Jakarta, transportasi yang ada tentu belum efektif dan memadai, melihat dari waktu tempuh dan jaraknya yang cukup jauh. Dua hal tersebut dapat menyebabkan tingkat stress yang tinggi kepada pengguna transportasi baik pribadi maupun umum. Waktu yang sebenarnya dapat dialokasikan menjadi waktu istirahat, dengan waktu tempuh yang ada, harus berdesakkan dan melewati macet nya jalan raya. Â
2. Konsep dan Tata Ruang Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) pada tahun 1998 sudah merencanakan Maja sebagai kota baru dengan fungsi yaitu permukiman skala besar. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 378/KPTS/1987 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun, meyebutkan bahwa faktor-faktor yang harus dipenuhi, seperti aksesibilitas yang mudah dari tempat kerja, kesesuaian bangunan dengan peraturan berlaku, serta jaringan-jaringan penghubung eperti jalan, aliran limbah, listrik, telepon, dan lain sebagainya. Apabila diperlihatkan dari gambar pembangunan tata ruang komplek yang ditawarkan, selain aksesibilitas yang sangat jauh dari pusat kota, beberapa cluster perumahan tidak menyesuaikan pembangunannya terkait peraturan Garis Sepadan Bangunan (GSB) yang berlaku. GSB yang biasanya digunakan sebagai daerah resapan hanya terdapat di halaman rumah setiap unit dengan prosentase yang kecil.