Indonesia menjadi bulan-bulanan warganet atas kegagalan timnas Indonesia menjadi juara grup dan harus puas di posisi runner-up, karena hanya menang 2-1 atas Filipina.
Lagi-lagi pemain TimnasDialah Ricky Kambuaya yang dianggap egois saat berhadapan satu lawan satu dengan bek Filipina dalam serangan balik. Ia dinilai pamer (show off), memaksa mendribel sendiri dan tak mau mengumpan. Ia tak mampu finishing dengan baik yang berakibat salah mengambil kuputusan.
Lantas, benarkah Kambuaya "egois" hingga tak sudi berbagi umpan dengan Ilija Spaso?
Jika melihat ulang dalam tayangan lambat, terlihat pandangan Kambuaya terlalu fokus pada bola. Ia tak begitu perhatian pada sekitar, kemungkinan ia tak begitu paham dengan keadaan sekelilingnya.Â
Bisa jadi karena Kambuaya merasa "terancam/tertekan" saat bek Filipina yang mencoba menghalau dan merebut bola.
Sebenarnya hal ini sudah sangat biasa terjadi dalam tim-tim dengan "chemistry" yang lemah. Tim yang tak memiliki ikatan yang kuat akan cenderung merasa tertekan sepanjang pertandingan.Â
Di bawah tekanan, pemain bisa berubah dari 'kita' menjadi 'saya'. Itu sering terjadi. Dari sinilah benih-benih "ego" dalam tim muncul.
Psikolog olahraga Bill Beswick, yang pernah bekerja untuk Manchester United dan Inggris, mengatakan bahwa sebenarnya peran ego bagi pemain sangat kuat dan bisa menjadi kekuatan pendorong di balik performa.Â
Mantan gelandang Manchester United Roy Keane, misalnya, ia memiliki kepercayaan diri yang kuat dan ia memaksimalkan egonya untuk membuat yang terbaik dari dirinya sendiri.
Contoh lain, pembawaan Ronaldo secara visual sangat percaya diri, sedangkan Messi tampil cenderung pendiam dan tenang, tetapi keduanya memiliki ego.Â
Di saat pemain seorang pemain memiliki tingkat kepercayaan tertinggi dan di saat yang sama mampu mengendalikan ego, maka keajaiban bisa terjadi.Â
Ego harus dimanfaatkan dengan benar untuk memastikan seorang pemain menghindari kontroversi di lapangan.
Kuncinya bukanlah membuang atau menghilangkan ego tersebut, melainkan membentuk formula seimbang, agar skill, bakat, dan ego berada dalam simetri yang sempurna.
Mike Forde, mantan Direktur Operasi Chelsea menyusunkan formula pengelolaan ego terbaik dimana ego harus dikombinasikan dengan skill, kemudian kombinasi tersebut dikalikan dengan intensitas belajar, berlatih, kompetisi (ego + skill) x (budaya belajar).Â
Formula tersebut akan melahirkan individu-individu pemain dengan kinerja tinggi sehingga bisa memaksimalkan bakat mereka.
Maka tak heran, banyak pemain-pemain hebat dunia yang terkenal egois, tetapi tetap memiliki performa terbaik bahkan mencetak banyak prestasi secara individu maupun kolektif.Â
Ego ada untuk memberi mereka kepercayaan diri di samping coachability dan DNA intrinsik yang memberi mereka keinginan untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Itulah mengapa pemain yang memiliki pengelolaan ego yang baik di dalam maupun di luar lapangan, mereka tahu kapan harus finishing tanpa bantuan dan kapan harus melibatkan banyak bantuan.Â
Itulah yang harus dipelajari oleh Kambuaya pada khususnya dan Timnas Indonesia pada umumnya tentang pengelolaan "ego" saat bertanding.Â
Coach STY perlu menjembatani pengelolaan emosi dan ego yang seimbang di laga semifinal nanti, agar pemain Timnas Indonesia tetap mampu memaksimalkan skill dalam emosional yang stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H