Mohon tunggu...
Good Words
Good Words Mohon Tunggu... Penulis - Put Right Man on the Right Place

Pemerhati Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Money

Mental Sehat, Ekonomi Selamat

14 Agustus 2021   09:09 Diperbarui: 14 Agustus 2021   09:14 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kesehatan mental merupakan salah satu faktor utama penentu pemulihan ekonomi nasional, terlebih pemerintah memutuskan perpanjangan PPKM hingga tanggal 16 Agustus 2021. Hal tersebut tentunya akan menempatkan masyarakat pada kondisi yang sulit sehingga memicu munculnya masalah-masalah kesehatan mental umum seperti depresi dan kecemasan yang berlebihan.  Sebagian besar masyarakat yang mengalami depresi ataupun masalah kecemasan yang berlebihan akan menghambat produktivitas nasional. Meskipun secara umum ekonomi nasional mulai bangkit, namun mengabaikan pemulihan masalah kesehatan mental publik pada titik tertentu justru akan menambah beban bagi pemulihan ekonomi nasional.

Peliknya masalah kesehatan mental ini hingga OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) memperkirakan ada satu dari lima orang dewasa menderita masalah mental yang dapat didiagnosis selama pandemi. Bahkan sejak pandemi, diperkirakan satu dari dua orang dewasa mengalami masalah kesehatan mental yang dapat didiagnosis. Tentu saja kondisi ini memiliki dampak buruk terhadap ekonomi yang cukup besar sehingga butuh langkah-langkah preventif sesegera mungkin dalam rangka mendukung proses pemulihan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Sinyal pemulihan ekonomi Indonesia memang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan hampir di semua kelompok pulau.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II tahun 2021 mencapai 3,31 persen (q-to-q) atau tumbuh 7,07 persen (y-to-y) secara tahunan dari kuartal II tahun 2020. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi terbilang tinggi, tentu saja ini bukan kondisi optimal pertumbuhan ekonomi Indonesia mengingat sejak awal pandemi tepatnya di kuartal II, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif 5,32 persen. Namun, di samping kabar gembira pertumbuhan ekonomi yang mulai merangkak naik, Indonesia masih harus bertarung dengan varian delta COVID-19 yang memaksa pemerintah memberlakukan PPKM darurat untuk menghentikan amukan varian delta di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun pemerintah kelak akan menghentikan pemberlakukan PPKM jika situasi sudah kembali stabil, namun psikologis dan mental masyarakat yang terdampak PPKM secara umum membutuhkan waktu untuk pemulihan yang relatif lama.

Untuk mengukur seberapa besar dampak PPKM terhadap psikologis dan kesehatan mental, BPS melakukan survei terhadap lebih dari 200.000 responden yang bertujuan untuk mengetahui respon masyarakat dalam menyikapi PPKM darurat. Menariknya, kondisi mental dan psikologis masyarakat selama PPKM darurat level 3 dan level 4 tidak seburuk saat awal pandemic, namun hasil survei menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental masih menjadi isu yang serius selama pandemi. Sebanyak 65,1 persen dari total responden memilih memperbanyak ibadah dan berkomunikasi dengan keluarga secara online dan sekaligus menjadi kegiatan yang paling banyak dilakukan selama masa PPKM darurat Jawa-Bali. Namun, kondisi tersebut tidak dapat mengurangi atau menghilangkan kejenuhan selama masa pembatasan mobilitas. Bahkan 61,8 persen mengaku sangat jenuh berada di rumah tanpa melakukan aktivitas rutin seperti biasa. Perasaan jenuh yang berlebihan pada akhirnya bisa memicu permasalahan kesehatan mental yang lebih serius. Responden yang berusia di rentang 17 -- 30 tahun menjadi kelompok usia yang paling banyak merasa mudah marah, dan cenderung merasa takut yang berlebihan.

Sebaliknya, responden yang berusia lebih dari 60 tahun justru menjadi kelompok usia yang paling banyak yang merasa biasa-biasa saja dengan pemberlakukan PPKM darurat, meskipun kita tahu bahwa lansia menjadi kelompok usia yang paling rentan terpapar COVID-19. Kondisi tersebut menjadikan kaum muda menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan mengalami masalah kesehatan mental. Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan tanggung jawab sosial baik di sisi pemerintah maupun masayarakat dalam membantu mereka yang terpuruk secara mental dalam menghadapi pandemi.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda dunia, OECD dalam laporan tahun 2020 memberi gambaran bahwa beban (kerugian) ekonomi yang disebabkan oleh masifnya gangguan kesehatan mental setara dengan 4,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Bahkan  sayangnya, tidak semua negara, termasuk Indonesia, yang memiliki sistem kesehatan mental yang mumpuni yang dapat diandalkan masyarakat untuk perawatan dan pengobatan apabila seseorang mengidap gangguan mental. Hal ini disebabkan permasalahan kesehatan mental menyerap banyak anggaran negara dan cenderung menjadi beban berat bagi anggaran pemerintah sehingga berpotensi mengganggu alokasi anggaran prioritas penanganan pandemi.

Selain itu, WHO menjelaskan seluruh negara di dunia akan menanggung biaya pemulihan ekonomi sekaligus pemulihan mental nasional yang cukup besar sehingga berpotensi menjadi beban ekonomi baru. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan pada jumlah penderita masalah kesehatan mental di negara kaya ataupun di negara miskin. Hanya saja negara miskin menanggung beban pemulihan yang lebih berat di banding negara-negara kaya. WHO menambahkan bahwa masalah kesehatan mental berpotensi mengurangi pendapatan nasional sebesar 7 persen selama masa pandemi, sebagian besar disebabkan oleh masalah presennteeism, kondisi di mana seseorang tetap ingin bekerja meskipun sedang sakit. Hal ini bisa disebabkan karena perusahaan tidak mengetahui kondisi kesehatan karyawan akibat buruknya komunikasi atau berasal dari kemauan sendiri.

Dalam kondisi tertekan, ketakstabilan mental mendorong siapapun bertindak di luar kebiasan normalnya, sehingga akan mendorong seseorang untuk cenderung bertindak lebih emosional dan agresif. Banyak perusahaan dan karyawannya menganggap hal ini merupakan sesuatu yang sepele, tetapi secara tidak sadar dengan mempekerjaan orang yang sedang sakit, baik fisik maupun mental berpotensi mengurangi output nasional dan memicu pemborosan ekonomi yang sangat besar. Oleh sebab itu, penanganan permasalah kesehatan mental harus menjadi sebuah sistem ketahanan mental secara nasional agar menjadi solusi yang tepat di saat-saat sulit seperti ini.

Melihat besarnya pengaruh kesehatan mental terhadap pemulihan ekonomi, maka menjadi sangat penting untuk memiliki support system untuk membantu masyarakat yang memiliki masalah kesehatan mental dengan memberikan akses yang mudah pada perawatan medis, dukungan moril, dan bantuan keuangan. Dalam hal ini, Indonesia perlu bercermin pada langkah cekatan Australia dalam membantu penduduknya yang mengalami gangguan kesehatan mental, bahkan di tahun 2018 pemerintah Australia melalui National health and Medical Research Council (NHMRC) mengalokasikan anggaran khusus penelitian penanganan kesehatan mental sebesar 71,7 juta dolar Australia atau sekitar 752,8 miliar rupiah. Tidak hanya itu, pemerintah Australia juga mengajak investor untuk berinvestasi mendirikan rumah singgah khusus pengidap masalah kesehatan mental  dengan imbal hasil investasi yang sangat menjanjikan. Kebijakan tersebut membuat investor tak akan berpikir panjang dan bersedia bekerjasama dengan pemerintah Australia untuk penanganan masalah kesehatan mental.

Peran pemerintah menjadi sangat penting dalam melindungi kesehatan mental selama pandemi. Penanganan kesehatan mental nasional tidak hanya berupa himbauan, tetapi harus dituangkan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan tersebut akan memperkuat ketahanan mental yang seharusnya tidak hanya sebatas wacana dan bahan diskusi dalam seminar, tetapi benar-benar harus diimplementasikan dalam kebijakan dan peraturan yang bisa mengurangi stigma negatif bagi pengidap gangguan kesehatan mental. Kepastian hukum bagi penderita masalah mental akan memudahkan masyarakat mendapatkan akses perawatan dan pengobatan yang layak dan terjangkau.

Literasi kesehatan mental juga perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak mudah menghakimi siapapun penderita penyakit tertentu. Seakan berlari mengejar waktu di tengah pandemi, pemerintah di beberapa negara maju pun ikut mengembangkan terapi mental secara digital untuk mempermudah akses pelayanan kesehatan mental selama masa pandemi. Perancis bahkan membuka hotline khusus pengaduan masalah kesehatan mental selama pandemi. Kehadiran hotline diharapkan masyarakat dapat berhubungan langsung dengan terapis-terapis mental profesional yang siap membantu mendengarkan serta mencarikan solusi atas masalah mental yang dihadapi. Pada akhirnya, pemulihan ekonomi tidak hanya fokus pada vaksinasi dan penurunan kasus positif COVID-19, tetapi juga perlu diarahkan pada pemulihan kesehatan mental masyarakat secara umum agar etos kerja dapat pulih kembali sehingga masalah kesehatan mental tidak menjadi hambatan dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun