Dalam wawancara di kanal Youtube milik Deddy Corbuzier bersama Menteri Kesehatan RI 2004-2009 yang ditayangkan tanggal 21 Mei 2020, Siti Fadila Supari mengungkapkan kemungkinan dalang di balik sebuah pandemi adalah sekelompak tertentu yang ingin memanfaatkan situasi pandemi dalam mengejar keuntungan belaka dan ini hanya perkiraan yang bisa saja benar atau salah.Â
Bisa saja China adalah korban, bisa saja Amerika juga korban atas ulah sekelompok bisnis tertentu yang menfaatkan pandemi sebagai alat untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka walaupun dengan cara mematikan depopulasi. Memang tidak cukup bukti untuk membuktikan pandemi Covid-19 merupakan sebuah konspirasi.Â
Hanya saja yang aneh menurutnya adalah saat terjadi pandemi, mengapa prioritas penanganan pandemi langsung mengarah pada vaksin? Mengapa saat awal-awal terjadi pandemi tidak dihentikan dengan cara-cara yang lebih efektif? Mengapa setiap ada pandemi selalu diikuti dengan perdagangan obat dan vaksin?
Lebih berbahaya lagi jika semua pasokan obat dan alat-alat pendukung medis lainnya didominasi oleh buatan luar negeri. Ini terlihat seperti ada yang mengaturnya, bahkan ada sekelompok yang telah memprediksi akan terjadi pandemi dan telah siap dengan vaksinnya. Hal ini menurutnya sama sekali tidak masuk akal.
Untold Stories Perjuangan Siti Fadila Supari
Dalam buku Big Farm Makes Big Flu Rob Wallace menceritakan bahwa saat Mantan Menteri Kesehatan RI tersebut terpilih menjadi Wakil Presiden WHO tahun 2006 mampu membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan nasionalis yang mementingkan rakyat merupakan kunci mengurainya kesembrawutan penanganan pandemi flu burung kala itu.Â
Siti Fadila Supari dianggap menentang para ilmuwan yang terkait penetapan status pandemi flu burung kala itu. Penolakan tersebut jelas membuat ilmuwan berkecil hati, tetapi sikap Indonesia dianggap mempertahankan satu prinsip keadilan. Rob Wallace menambahkan, efek penetapan pandemi disaat informasi asimetris adalah menempatkan negara-negara miskin yang tidak siap dalam situasi yang amat berbahaya secara ekonomi.Â
Tidak heran ada sebagian negara yang mampu melakukan karantina wilayah dengan kapasitas ekonomi dan pangan memadai, dan banyak juga negara yang tidak mampu melakukan karantina wilayah yang menyisakan masalah sosial yang lebih parah seperti kelaparan dan kemiskinan.
Senada dengan Siti Fadila, Rob Wallace, seorang fillogeografer kesehatan masyarakat, mengatakan bahwa dalang yang seharusnya disalahkan adalah ideologi kapitalisme pertanian yang sudah mendarah daging di sebagian praktik ekonomi dunia. Kapitalisme seolah tidak menyisihkan sedikitpun ruang dan waktu pada mereka yang lemah secara ekonomi dan sosial.Â
Ide-ide kapitalisme pada ujungnya membuat petani-petani kecil kehilangan lahan pertaniannya akibat deforestasi besar-besaran ditopong oleh investasi-investasi kapitalis.Â
Deforestasi inilah yang akan pemicu muncuknya virus-virus berbahaya. Dalam bukunya Big Farms Make Big Flu, Wallace mengambarkan peningkatan aktivitas mikrobiologi yang dapat merugikan manusia diakibatkan oleh produksi pangan serta profitabilitas perusahaan-perusahaan multinasional. Pendekatan untuk menyingkap penyebab pandemi sesungguhnya harus menggunakan pendekatan model industrialisasi pertanian dan peternakan.
Kondisi yang sangat disayangkan ketika perhatian masyarakat, pemerintah, media, bahkan medis terpaku pada betapa mengerikannya situasi darurat yang terjadi saat pandemi. Sedikit pihak yang peduli pada penghentian pandemi di sisi hulu sebelum virus menyebarluas dan mencekam.Â
Kita harus fokus pada sumber munculnya infeksi awal dan berhasil menyerang manusia di seluruh dunia. Jika benar ini konspirasi, situasi ini tetap tidak akan menguntungkan masyarakat dunia karena virus sudah terlanjut menyebar dan dunia nyaris tidak punya informasi detail tentang Covid-19.Â
Wallace melanjutkan bahwa virus atau patogen-patogen yang semulanya disimpan atau dikurung di tempat tertentu baik secara alamiah maupun buatan manusia menyebar ke dalam peternakan lokal dan komunitas manusia. Permasalahannya adalah apakah penyebarannya terjadi secara alamiah atau artifisial. Sampai saat ini tidak ada jawaban pasti terkait hal ini.
Secara natural, patogen-patogen baru seharusnya terjaga oleh ekologi hutan. Namun saat proyek-proyek milik neoliberal merampas tanah dan sumber daya negara-negara miskin, maka saat itulah virus dan patogen mematikan lainnya keluar dari ekologi alamiahnya dan mengancam dunia.Â
Bahkan negara-negara maju pun ikut menjadi korban, sehingga dengan bukti yang minim, sangat tidak adil menyalahkan salah satu negara penyebab pandemi. Saling tuduh antar negara justru bentuk lain dari politisasi pandemi yang berusaha merebut pasar vaksin dan obat dunia. Saat ini, negara-negara adidaya sibuk mencari data dan bukti untuk saling menyalahkan dan menjatuhkan serta mencari-cari pihak yang paling bertanggung jawab atas pandemi yang terjadi saat ini.
Ideologi kapitalisme agrikultur ini benar-benar ideologi mematikan karena dianggap mampu merancang dan membentuk ekologi artifisial yang seolah-olah merupakan ekologi alamiah. Dari sinilah bencana berasal yang menjadikan virus dapat berevolusi menjadi fenotip paling mematikan.
Untuk mencegah pandemi baru yang akan datang reformasi produksi pertanian harus transparan dan serta berusaha mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas produksi pangan, serta menciptakan sirkulasi pangan yang adil dan bebas dari tekanan ekonomi liberal.Â
Alternatifnya, model agribisnis yang merugikan harus dihentikan untuk keselamatan kesehatan masyarakat. Mungkinkah Covid-19 menjadi pandemi terakhir ke depan? Jawabannya adalah mungkin saja, jika manusia masa depan berhasil merekatkan kembali antara keseimbangan ekologi dan ekonomi. Harus terciptanya agroekologi yang melindungi lingkungan dan petani desa.
Rob Wallace juga mengakui bahwa negara yang memiliki solidaritas sosial yang baik merupakan salah satu senjata ampuh melawan pandemi. Idealnya, solidaritas harus berdampingan dengan kebijakan karantina wilayah yang menjamin semua kebutuhan pangan dan keamanan masyarakat.Â
Saat ini virus sudah menyebar luas bahkan di Indonesia jumlah kasus positif Korona sudah mencapai 20.796 kasus dan belum ada tanda-tanda akan melambat jumlah positifnya. Tanggal 5 Juni direncanakan pelonggaran PSBB oleh pemerintah namun pemerintah harus benar-benar tidak menerapkan kebijakan coba-coba yang dapat memperburuk situasi pandemi di Indonesia.Â
Selain itu, saat PSBB dilonggarkan, praktik suap harus secara masif diawasi dikhawatirkan ada penumpang gelap yang ikut menikmati proses pelonggaran ekonomi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H