Jujur, ketika pertama kali mendengar Citayem Fashion Week, ada rasa bangga bercampur haru yang ada dibenak saya. Bagaimana tidak, sekelompok anak muda yang kebanyakan berasal dari kelas menengah ke bawah, mampu menciptakan sebuah even yang menggetarkan netizen Indonesia bahkan mungkin dunia.
Mereka adalah anak muda generasi Z yang mampu membalikan pandangan dunia fashion yang terkenal mewah dan elitis itu. Oleh mereka, fashion show kini menjadi sebuah ajang yang murah meriah dan terbuka bagi semua kalangan. Ini memang benar-benar unik dan anti mainstream.
Lahirnya Citayam Fashion Week ini membuktikan bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah mampu menciptakan brand fashion yang selama ini hanya lekat dengan dengan gaya busana orang-orang berduit, pejabat, dan selebritis.
Penampilan mereka yang nyentrik dan apa adanya ternyata lebih diterima oleh masyarakat. Para model yang lenggak lenggok berjalan di atas jalan zebracross itu, terasa lebih dekat mewakili tampilan busana masyarakat umumnya. Mereka tampil apa adanya di tengah glamournya trend fashion orang kaya zaman now.
Seiring berjalannya waktu, fashion jalanan yang dipelopori anak-anak muda dari Citayam hingga Bojonggede ini pun viral di media sosial. Â Citayam Fashion Week pun melahirkan sejumlah "nama besar" yang viral di TikTok, di antaranya Jeje Slebew, Roy, Bonge, hingga Kurma.
Lantas apa kekuatan Citayam Fashion Week sehingga memiliki daya tarik yang menggetarkan dunia fashion?
Sadar atau tidak, Citayam Fashion Week adalah ekspresi kejujuran anak muda kelas menengah bawah untuk mengakui kekurangan dan keterbatasan mereka. Meski serba terbatas, mereka tak malu tampil dengan busana apa adanya di depan khalayak ramai.
Bagi mereka, kekurangan tidak perlu diratapi tetapi harus dirayakan. Ini adalah pilihan sikap yang paling sesuai di tengah maraknya pamer kemewahan yang ditunjukkan para pesohor medsos dan influencer. Jadi dari pada bersaing untuk kalah, mending merayakan keterbatasan dengan suasana hati yang bahagia. Kalau orang kaya bisa bahagia dalam kemewahan mereka, mengapa kita tidak bisa bahagia dalam keterbatasan?
Karena itulah para anak muda ini berlenggak-lenggok tanpa beban di atas zebracross, meski mereka sadar busana yang mereka pakai harganya murah meriah. Mereka ingin membuktikan bahwa kebahagiaan tidak hanya milik orang berpunya tetapi juga bersemayam di dalam hati orang yang bersyukur dalam keterbatasan.
Para anak muda ini sadar, mereka tidak bisa bersaing di panggung yang sama dengan orang kaya. Karena itu panggung fashion rakyat di jalanan adalah solusi terbaik untuk bisa mengekspresikan diri. Â Inilah kekuatan paling mendasar yang menjadi daya tarik Citayam Fashion Show. Karena merasa senasib sebagai sesama yang berkekurangan, panggung jalanan ini pun menyedot perhatian masyarakat luas, lalu dipromosikan secara gratis di berbagai kanal media sosial.
Datangnya Ancaman
Dalam perjalanannya, seperti yang diduga sejak awal, daya tarik Citayam Fashion Week ini mulai terendus oleh sejumlah pesohor dan orang kaya. Mereka akhirnya mulai nimbrung untuk menyaksikan fenomena itu secara langsung termasuk Anies Baswedan, Ridwan Kamil, hingga Paula Verhoeven, istri dari artis dan Youtuber ternama Baim Wong.
Mereka awalnya datang ingin menyaksikan langsung para remaja yang berpose di atas zebra cross dengan penampilan layaknya model papan atas. Namun sayangnya, kehadiran mereka malah menjadikan arena fashion rakyat itu mulai tercoreng oleh berbagai kepentingan.
Di sana muncul beberapa politisi yang ingin memanfaatkan ajang itu untuk mendulang popularitas menjelang tahun politik. Artis papan atas juga mulai nimbrung memanfaatkan situasi. Tak hanya itu, panggung pertunjukan rakyat ini bahkan diperebutkan oleh segelintir orang kaya untuk 'diprivatiasi" atau dipatenkan lewat Hak Kekayaan Intelektual atau HAKI.
Kehadiran para pesohor ini kemudian mengubah wajah Citayam Fashion Week dari wajah orang biasa menjadi bermolek rupa nan mewah. Aroma kemewahan mulai tercium di sekitar zebra cross mulai dari parfum, busana hingga kosmetik kelas atas. Tampang ndeso perlahan memudar digantikan penampakan rupawan orang-orang berada.
Suasananya juga mulai ikut berubah. Pertunjukan busana yang dulunya kental dengan nuansa hiburan, kini mulai terkesan lebih formal dan mewah. Sadar atau tidak, pelan-pelan kehadiran orang berduit dengan busana yang aduhai ikut mempengaruhi psikologi anak muda yang tampil dengan keterbatasan. Panggung perayaan keterbatasan itu kemudian menjadi panggung pamer kemewahan. Â
Tragisnya lagi, area pertunjukan rakyat ini mulai diperebutkan kaum berduit. Mereka berlomba-lomba mendaftarkan merek ini untuk dipatenkan. Pendaftaran mereka bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek Citayam Fashion Week. Pendaftaran merek sebagai dasar mencegah orang lain memakai merek yang sama dalam peredaran barang atau jasa.
Itu artinya, hanya merek yang didaftarkan saja yang akan mendapatkan perlindungan hukum. Prinsip penerimaan merek adalah siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya. Dengan demikian, apabila nama Citayam Fashion Week didaftarkan oleh seseorang, maka dia akan memiliki hak penuh atas nama Citayam Fashion Week.
Nama itu kemudian bukan lagi menjadi milik bersama melainkan milik si pendaftar. Nah, di sinilah benih keruntuhan mulai tumbuh. Kekhasan Citayam Fashion Week sebagai arena peragaan busana rakyat perlahan hilang. Puncak keruntuhan panggung rakyat ini ketika nanti ada standarisasi yang tidak disadari merasuk masyarakat luas. Ketika ada standar bahwa yang cantik dan ganteng itu harus rambut lurus, kulit putih, pakaian mewah dan kosmetik mahal. Lantas bagaimana nasib anak muda kelas menengah yang hanya bermodal 'asal mandi'?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H