Pragmatisme politik! Ya, itulah kesan pertama yang ada di benak publik melihat polemik pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo tahun 2020 mendatang. Bagaimana tidak, pencalonan Gibran sejak awal terkesan dipaksakan mengingat ucapan sang Ayah yang mengaku anak-anaknya itu tidak tertarik masuk dunia politik.
"Sampai detik ini, saya melihat anak-anak saya tidak tertarik ke dunia politik. Gibran, Kaesang, maupun yang lain senangnya di dunia usaha," kata Jokowi pada 18 Juli 2019 lalu seperti dilansir Kompas.com.
Kurang lebih setahun setelah ucapan itu, Jokowi seperti terjerat oleh kata-katanya sendiri. Gibran, putra sulungnya, resmi mendapat dukungan dari PDIP untuk maju dalam Pilkada Solo.Â
Bagi parpol, mencalonkan anak presiden dalam Pilkada adalah perkara gampang dan mungkin akan menghemat energi dan biaya. Cukup dengan menjual nama sang Ayah, dukungan akan mengalir ke Gibran, PDIP pun menang lagi.
Pun, jika ditanya apakah Gibran akan menang atau kalah? Hampir pasti kebanyakan orang akan optimis menang. Selain karena memang Solo basis PDIP, Jokowi Effect sudah terbukti mendongkrak perolehan suara parpol maupun perorangan dalam Pilkada serentak 2019 lalu.Â
Namun persoalannya bukan terletak pada menang atau kalah. Kans Gibran untuk menang dalam Pilkada Solo tentu sangat besar jika dibaca secara pragmatis. Persoalannya adalah partai politik hanya memikirkan kemenangan 5 tahunan dibandingkan dengan investasi keteladanan dan etika politik yang makin suram di negeri ini.Â
Publik sebenarnya masih galau dengan hasil pemilu 2019 lalu, dimana sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, karena memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.
Riset yang ditemukan Nagara Institute ini harusnya menjadi wanti-wanti demokrasi, sebab berpeluang menguatkan pengaruh oligarki dalam sistem demokrasi kita.
Pencalonan Gibran yang merupakan putra mahkota presiden malah akan menguatkan tren dinasti politik dalam ruang demokrasi. Inilah yang patut disayangkan. Jokowi maupun Gibran seharusnya memberikan keteladanan politik yang elok sehingga tren dinasti politik ini tidak menguat dan mengakar di Indonesia.
Pada saat yang sama, pencalonan Gibran sebenarnya bukti pelecehan parpol yang mengemban fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik. Kita tahu bahwa PDIP merupakan partai kader sebagaimana diamanatkan dalam anggaran dasar partai.
PDIP adalah "Wadah untuk membentuk kader bangsa yang berjiwa pelopor, dan memiliki pemahaman, kemampuan menjabarkan dan melaksanakan ajaran Bung Karno dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," demikian ditegaskan dalam anggaran dasar partai.
Jika melihat rekam jejak Gibran, sesungguhnya ia belum layak dinobatkan sebagai kader. Menjadi seorang kader bukanlah perkara gampang dalam partai. Gibran sendiri baru bergabung di PDIP pada September 2019 lalu.
Pada saat yang sama, sudah banyak kader-kader partai yang 'mengantre' untuk berkesempatan melanjutkan estafet kepemimpinan di Solo. Proses kaderisasi yang telah dijalani kader-kader lain pun tercoreng akibat embel-embel nama besar Jokowi dan tentu mengganggu iklim kaderisasi partai.
Pada akhirnya, proses penggemblengan kader dikalahkan oleh popularitas yang bermuara pada pragmatisme politik. Kalau begitu untuk apa susah-susah jadi kader? Tinggal perbanyak saja kunjungan ke pasar, bersih-bersih got, dan makan di warteg, sudah bisa menghipnotis rakyat.Â
Saya sebetulnya yakin, dengan memborong 30 kursi dari total 45 kursi di DPRD Solo, peluang PDIP untuk menang Pilkada tanpa ekor jas Jokowi, sangat besar. Artinya, tanpa harus mencalonkan Gibran, PDIP bakal menang lagi.
Lalu fenomena apa sebenarnya yang bisa dibaca dari pencalonan Gibran? Mungkinkah Gibran akan dipersiapakan untuk menggantikan ayahnya pada Pilpres 2024 mendatang?
Romantisme Jokowi Effect
Selain menegaskan pragmatisme politik sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, hemat saya pencalonan Gibran adalah nostalgia jejak kekuasaan Jokowi yang coba diulang kembali dalam karakter Gibran.Â
Kemenangan berturut-turut Jokowi dalam Pilkada Solo, Pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, dan 2019 tidak terlepas dari Jokowi Effect sebagai branding utama yang sudah ditanam dalam persepsi publik.
Harus jujur diakui, bahwa kemenangan PDIP dan partai pendukung lainnya dalam pileg juga tidak terlepas dari efek tersebut. Para elite partai maupun think tank Jokowi masih sangat yakin bahwa Jokowi Effect masih tertanam dalam persepsi massa rakyat. Lalu, apa sebenarnya citra dan reputasi Jokowi yang masih kuat melekat?Â
Pertama, Jokowi dipersepsikan sebagai simbol pemimpin rakyat. Ia lahir dari bawah (bukan elite partai apalagi anak ketum partai). Citra dan reputasi ini kemudian menguat dengan gaya blusukan Jokowi yang berhasil menyentuh emosi rakyat.
Tak hanya itu, gaya bicara, berdandan dan berpakaiannya pun ikut mendukung narasi tersebut. Terlepas dari kemampuannya yang diragukan banyak orang bahkan dicap sebagai pemimpin boneka, namun kenyataan rakyat suka bahkan cinta mati sama Jokowi. Pengamat politik Boni Hargens bahkan menyebut keterpilihan Jokowi bukan hanya elektabilitas tetapi juga loveabilitas.
Kedua, dari Pilkada DKI jilid 1 dan 2 sampai Pilpres 2014 dan 2019, narasi yang dimainkan nyaris sama. Bedanya, sejak Ahok mencalonkan diri hingga puncaknya pada pilpres 2019, sangat kental dengan isu SARA dan radikalisme.
Jokowi dalam dentuman dinamika politik yang demikian brutal itu, berhasil lolos sebagai pemenang. Ia lolos dalam permainan isu radikalis vs Pancasilais, nasionalis vs teroris serta isu SARA yang nyaris membakar Indonesia beberapa waktu lalu.
Hemat saya jalan panjang dan terjal ini adalah pertaruhan panjang bagi PDIP dan partai pendukungnya. Mengapa? Karena peristiwa politik tersebut selalu membekas dalam ingatan dan sejarah.
Itulah alasannya mengapa pertimbangan isu radikalisme juga dibawa-bawa dalam pemilihan menteri Jokowi. Jenderal tentara dan polisi masuk kabinet untuk siap menangkal radikalisme dan pengganggu Pancasila.
Dengan demikian, masa depan Jokowi Effect masih sangat panjang selama tidak ada dentuman politik lain yang mampu mengalahkan dua branding isu di atas. Bahkan sampai Jokowi menghabiskan periodenya yang kedua sekalipun, persepsi-persepsi itu masih melekat.
Ya, politik adalah perang menguasai persepsi publik. Siapa yang berhasil menguasai persepsi, ia keluar sebagai pemenang.
Jadi, mumpung persepsinya masih kuat dan isu sebagai bahan bakarnya masih 'dihidup-hidupkan' terus, mengapa harus mencari orang lain? Bukankah anak Jokowi adalah pilihan yang paling tepat sehingga narasinya akan selalu nyambung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H