Dinamika dan dialektika kehidupan menegaskan bahwa perubahaan tak dapat disangkal. Tidak ada yang tidak berubah selain perubahan itu sendiri, demikian kata Heraklitos.
Karena itu, sebagai makhluk yang sadar, kegaduhan demokrasi akibat gempuran hoaks, ujaran kebencian dan instrumentasi SARA dapat dibaca sebagai proses pematangan diri manusia Indonesia.
Kita semakin mengerti siapa diri kita, bagaimana seharusnya kehidupan ini dijalankan serta ke mana tujuan hidup kita. Dalam konteks politik, kita mestinya sadar bahwa komunitas besar yang bernama Indonesia lahir dari sebuah visi dan landasan yang sama seperti yang tertuang dalam Pancasila.
Memiliki visi merupakan keunggulan spesies manusia yang tidak dimiliki saudara kita sesama binatang. Jika merujuk 'Sapiens', komunitas-komunitas manusia zaman purba mampu hidup bersama karena punya kemampuan menciptakan fiksi yang tertuang dalam visi.
Visi itulah yang melahirkan Pancasila sebagai titik temu sekaligus titik tuju bersama. Dengan adanya fenomena kebencian yang nyaris memecah-belah bangsa, kita akhirnya mengerti mengapa founding fathers menelurkan Pancasila. Bahwa Pancasila memang titik persinggungan semua perbedaan dengan landasan utamanya, kemanusiaan.
Hoaks dan ujaran kebencian juga semakin mengasa kewarasan berpikir kita untuk kritis dan tajam dalam membedakan sesuatu. Kita semakin terbiasa dan terlatih untuk menghadapi gempuran hoaks serta membedakan dengan tajam mana yang benar dan salah, mana yang palsu dan asli, mana yang baik dan mana yang akan merusak masa depan Negara-bangsa Indonesia.
Demikian pun dengan instrumentasi SARA, kita semakin dilatih untuk mengelolah perbedaan menjadi kekuatan. Kita mengerti bahwa manusia Indonesia memang berbeda. Bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Bahwa Indonesia memang lahir dari perbedaan dan jika perbedaan itu terus dieksploitasi demi hasrat kekuasaan purba, pasti akan membakar rumah kita bersama, membakar diri kita dan masa depan bangsa Indonesia.
Pada akhirnya kemampuan untuk membedakan hasrat pragmatis dan hasrat kebaikan bersama mesti menjadi keutamaan kolektif dalam hidup berdemokrasi.
Sebagai makhluk politik, kita semua terutama elit politik juga dituntut untuk membedakan hasrat 'purba' dan hasrat manusia yang beradab serta berakhlak.
Jangan sampai demokrasi kita mundur jauh ke zaman purbakala, sementara bangsa lain kian maju menyongsong era industri 4.0.
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasi di VoxNtt.com