Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Yang Terburuk Itu Ada di Depan Mata, Masih Pilih Golput?

14 Februari 2019   10:01 Diperbarui: 14 Februari 2019   10:27 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: elshinta.com)

Pertarungan kata 'Sudah' dan 'Sedang' vs 'Akan'. Itulah diksi yang paling mencolok dari perang merebut persepsi publik antara Jokowi dan Prabowo. Ketika Jokowi menyerang Prabowo dengan tuduhan antek asing, pertanyaan reflektifnya apa yang sudah dan sedang dilakukan Jokowi untuk menahan laju dominasi asing di Indonesia?

Begitupun sebaliknya, ketika Prabowo menyebut Jokowi boneka asing, apa yang sedang direncanakan Prabowo untuk membendung kekuatan asing di Indonesia? Sayangnya riuh politik yang dominan muncul di ruang publik adalah gemuruh caci maki, fitnah, bohong dan ujaran kebencian. Gemuruh itu mendominasi penjelasan akal sehat. Larutan kopi politik yang dihidangkan kedua capres cuma beraroma dan berasa sensasi. Sementara substansi cuma jadi ampas yang mengendap di dasar gelas.

Dampak dari larutan yang tak berkualitas itu akhirnya menjangkit ke pendukung kedua kubu. Loyalis Jokowi seperti alergi kritik. Sementara pemuja Prabowo seolah tuli terhadap suara yang berbeda.

Pada titik ini, Yudi Latif benar bahwa kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kehilangan orang besar atau kemerosotan nilai tukar dan defisit neraca perdagangan, melainkan kemunduran pikiran, kemunduran akal sehat.

Ketika akal sehat cuma jadi ampas pertarungan politik. Maka, publik hanya akan menikmati larutan kopi kebencian, fitnah dan kebohongan. Peradaban yang dangkal. Dan kita sepertinya menikmati hidangan itu.

Sebelum lanjut, ada baiknya terlebih dahulu saya ucapkan, Selamat menikmati kopi pagi yang sendu ini....

Golput atau Tidak?

Bagi publik yang akal sehatnya terganggu oleh fenomena ini, mungkin akan lebih memilih golput. Tentu pilihan ini mengandung risiko yang cukup berat bagi masa depan Indonesia 5 tahun mendatang.

Segelintir orang boleh tidak puas dengan pencapaian Jokowi. Namun di sisi lain, saat beralih ke Prabowo, di sana Anda akan bertemu dengan sejumlah kata 'akan' tetapi minus penjelasan yang logis dan sistematis.

Kata 'akan' yang seharusnya mengandung hope, pada akhirnya menjadi ampas komunikasi yang tak layak ditelan. Belum lagi hoaks dan generalisasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oposisi jadi dangkal. So, tidak ada hope di kubu Prabowo.

Jadi kesimpulannya Golput? Tunggu dulu. 

Kita masih punya hope (harapan). Kalau Prabowo tidak sanggup memberikan hope, mungkinkah masih ada kubu Jokowi? Di sana ada kata 'sudah' dan 'sedang'. Tentu ini harus diuji lagi apa memang benar sudah dilakukan atau sedang dijalankan.

Satu hal yang pasti dan teruji, kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia. Jokowi berhasil keluar dari gaya pembangunan Jawasentris. Lewat pembangunan infrastruktur, dia telah menghadirkan negara ke pelosok-pelosok Indonesia.

Revolusi mental sebagai jargon utama Jokowi memang jujur diakui, masih minus. Namun seperti yang kita ketahui, sejak awal memimpin, Jokowi telah diterpa dinamika politik yang cukup kuat baik dari internal maupun kubu oposisi.

Sialnya lagi, dia bukan ketua partai seperti Prabowo atau SBY. Jalan paling masuk akal adalah menjaga hubungan baik dengan koalisi internal dengan segala 'kecengengannya' sambil tetap kerja, kerja dan kerja, meski fitnah dan kebohongan terus dilancarkan kepadanya sepanjang tahun. Pelik memang.

Ya, tentu hasilnya tidak optimal. Tidak seperti mitos yang digandrungi pendukungnya 5 tahun silam sebagai Ratu Adil, Juru Selamat.

Pada akhirnya pertimbangan untuk memilih atau tidak memilih harus realistis dengan kondisi politik. Memilih pada akhirnya bukan hanya perkara 'sudah' dan 'akan'. Pemilih harus melihat lebih jauh, apakah di sana masih tersisa hope atau tidak sama sekali.

Mengapa di Jokowi masih punya hope? 

Pertama tentu Jokowi sudah membuktikan bahwa dia mampu bekerja meski tekanan politik terus mendidih.

Kedua, masih punya hope karena pada periode kedua nanti, dia bisa lebih leluasa membangun dari periode pertama yang penuh intrik dan trik. Hal ini tidak berarti intrik dan siasat politik tidak bakal ada pada periode kedua. Intrik akan tetap ada tetapi sasarannya bukan menghadang kerja-kerja Jokowi, melainkan lebih ke perebutan kekuasaan baru. 

Ketiga, tidak ada aroma dari keluarga Jokowi untuk menumpuk kekayaan. Dia masih bersih dari korupsi. Itu artinya dia masih berpikir untuk bonum commune, kebaikan umum dari pada kepentingan dirinya.

Nah, sekarang masih mau golput? Silakan berpikir lagi. Yang pasti golput memperburuk keadaan dan tentu bukan solusi. Magnus Suseno mengatakan, memilih bukan untuk mencari yang terbaik tetapi mencegah yang terburuk berkuasa. Yang pasti, yang terburuk dari yang buruk itu ada di depan mata kita. Apakah Anda membiarkan yang terburuk itu berkuasa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun