Rakyat pun menjadi tercerabut dari hakikatnya sebagai 'demos' dimana seharusnya semua masalah mendasar yang ia hadapi  menjadi diskursus utama dalam demokrasi.
Begitu pula dengan kedua capres yang maju bertarung. Suara rakyat yang terekam oleh mereka bukan lagi menyangkut kebutuhan krusial tetapi hanyalah pantulan ujaran kebencian, amarah, ketakutan bahkan lelucon semata.
Ketiga kata sakti ini sesungguhnya bentuk paling jelas dari strategi komunikasi emotional branding. Tujuannya agar pengucap dan orang yang melihat serta mendengarnya dapat terikat dalam rasa yang sama.
Prabowo menyebut tampang Boyolali tidak bisa masuk hotel mewah, sesungguhnya ingin menghimpun emosi pemilih kelas bawah atau akar rumput untuk berjuang bersamanya meraih kursi kekuasaan. Dalam imajinasi Prabowo frasa 'Tampang Boyolali' dapat menggerakan emosi pemilih untuk menghantarnya meraih kekuasaan.
Sementara Jokowi menyebut politisi sontoloyo dan genderuwo sebagai reaksi protes atas politisi yang gemar menyebar hoax dan fitnah. Dengan mengeluarkan kata itu, Jokowi ingin membangkitkan emosi marah bahkan rasa benci pendukung terhadap kubu penyebar hoaks yang oleh tim suksesnya sering diasosiasikan dengan kubu Prabowo.
Imajinasinya sama yakni kembali meraih kekuasaan dengan menggerakan emosi pendukungnnya yang menurut survei akhir-akhir ini melampaui Prabowo.
Jadi sebenarnya ketiga kata ini tak lebih dari stimulus untuk membangkitkan emosi pemilih. Demokrasi pada akhirnya terjebak dalam permainan kata tanpa gagasan, tanpa makna. Padahal demokrasi  dapat menjadi jembatan penyebrang menuju kesejahteraan rakyat jika para elit menjual gagasan.Â
Itu artinya kedua capres harus merangsang sisi rasionalitas sekalgius mengedukasi pemilih untuk  secara objektif melihat rekam jejak dan program unggulannnya masing-masing. Bukan hoax, kata sensasi dan glorifikasi yang hiperbolistik.
Terhanyut dalam politik kata-kata pada akhirnya hanya menyisakan lupa, baik di memori kedua capres maupun pemilih.Â
Kita lupa bahwa masih banyak pekerjaan rumah bangsa yang harus diselesaikan seperti kemiskinan dan pelanggaran HAM masa lalu. Lupa bahwa masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lupa bahwa korupsi terus menjalar dari pusat sampai ke desa.
Rakyat pun lupa bahwa perhelatan demokrasi seharusnya menjadi ruang transaksi masalah mendasar dan karenanya di ruang public seperti media sosial, harus arena diskursus program para kandidat demi menyelesaikan masalah bangsa.