Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menepis Bencana, Membangun Optimisme

20 Januari 2015   08:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Irvan Kurniawan
Anggota FAM NTT

Parade kesedihan kembali menyergap ketegaran dan kegagahan kita di akhir sekaligus  permulaan tahun 2015. Indonesia kembali berduka. Langit-langit Ibu Pertiwi serempak menjadi langit kelabu berkafankan hitam. Awan pekat , hujan dan halilintar menjadi pemandangan tak elok di atas langit-langit Indonesia. Di langit, ada duka  yang menerpa kita dengan misteri hilangnya pesawat AirAsia QZ 8501 yang sampai saat ini menjadi sorotan media sekaligus mengundang tanya pada alam yang tak lagi bersahabat. Awan, petir dan es menjadi sasaran manusia melempar salah. Di laut ada tragedi tenggelamnya kapal yang baru-baru ini membawa TKI ke negeri Jiran dan di darat ada longsor, gunung meletus, banjir dan musibah kebakaran menyapu habis sisa tenaga. Semua sumber  daya pun dihabiskan untuk menyembuhkan duka karena murka alam. Di hadapan alam,  kita memang tidak berdaya. Manusia ibarat seonggok daging yang terombang-ambing dalam alur pembantaian alam tanpa ada introspeksi, sudah kah kita memperbaiki hubungan dengannya? Manusia adalah bagian dari tubuh alam yang dengan segala kesombongan dan keangkuhannya merusak  lalu  merasa dirinya terasing dari alam.

Bencana alam, bencana kemanusiaan, bencana politik dan bencana ekonomi sudah menjadi sahabat karib bangsa kita. Belum lagi jika kita menilik bencana kemanusiaan akibat kerakusan dan keserakahan yang menindas bahkan melenyapkan sama saudara kita di NTT melalui tragedi penjualan manusia (human trafficking) yang sampai sekarang ini masih ditutup-tutupi oleh segelintir kaum berdasi. Demi uang, mereka rela menjual manusia untuk sebuah kepuasan yang sangat konsumtif dan setelah itu sirna. Jika memang siklus kehidupan kita hanya berpatok pada kekuatan kapital dengan ‘memangsa’ sesama lalu uangnya dikonsumsi dan setelah habis mencari lagi, pantaskah kita disebut sebagai manusia yang beradab? Sisi kemanusiaan menjadi hilang dan nafsu serakah merajalela di tanah yang beralaskan darah para pahlawan. Dengan demikian, kebangkrutan bangsa kita sudah lengkap saat ini. Bangkrut secara ekonomi, politik, sosial dan kemanusiaan. Negara yang merupakan benteng pertahanan terakhir  dalam memberikan kenyamanan, stabilitas dan kesejahteraan  mengalami kemunduran. Wajah negara bak Leviathan yang memangsa rakyat lalu hilang bersama setumpuk alasan retoris mengibuli publik. Negara hilang lalu membiarkan rakyatnya sendiri terkeruk oleh gurita kapitalisme di alam liar, liberalisasi politik dan ekonomi. Rakyat pun merasa terasing dari negaranya.

Demikian pula dengan bencana kemiskinan yang masih menjadi cerita klasik di negeri ini . Pemerintah dengan berbagai macam cara memaparkan angka-angka statistik yang aduhai, demi popularitas dan status quo, sementara rakyatnya terkapar tanpa daya dalam nista dan papa. Akhir-akhir ini, kejahatan statistik dimana pemerintah mengibuli publik dengan  memanipulasi angka-angka lalu menampilkan realitas buatan yang jauh dari realitas sebenarnya semakin gemar dipertontonkan.  Di NTT misalnya, program Desa Mandiri Anggur Merah yang menjadi ikon pemerintahan sekarang sudah tidak tahu lagi di mana rimbanya? Dana hibah ratusan juta itu awalnya memberi harapan akan perbaikan ekonomi desa, namun persoalan-persoalan manajemen dan strategis masih menjadi kendala sehingga dampaknya tidak lagi signifikan dirasakan. Anehnya, dalam setiap kali kesempatan, pemerintah mengklaim bahwa program ini berhasil di atas kertas, namun realitas menegaskan bahwa ada siklus perputaran uang yang terputus, dimana modal habis terpakai untuk melancarkan kegiatan yang tidak diimbangi produktifitas. Alhasilnya, dana hibah ratusan juta ini memang habis dipakai. Di sini manajemen, komitmen dan sumber daya manusia menjadi modal utamanya.

Selain itu, kita lupa bahwa hingar bingar kesemarakan tahun baru yang kemarin kita rayakan dengan dentuman ‘bom-bom’ yang menggelegar, lampu-lampu yang mempesona, riuh rendah lagu-lagu pesta dan semarak kembang api adalah pesta pora tanpa makna di tengah ketidaksiapan kita menyongsong raksasa perdagangan bebas ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015  ini. Globalisasi ekonomi dengan pasar bebas yang merengsek masuk sampai ke sudut-sudut kehidupan petani akan melahirkan bencana ekonomi di tengah ketidaksiapan kita. Hemat saya, kita yang tinggal di NTT telah kehilangan momentum menyambut era ini. Jika program Desa Mandiri Anggur Merah yang sudah diluncurkan  semenjak Gubernur sekarang terpilih, dimaksimalkan dengan memantapkan persiapan petani dari aspek pengetahuan, keterampilan dan strategi pemasaran, maka globalisasi ekonomi yang akan kita hadapi tahun ini  tidak hanya menjadi satu arah melainkan dua arah atau saling menguntungkan. Di era pasar bebas ini, semoga saja petani, nelayan dan peternak kita tidak menjadi manusia yang kebingungan antara mengonsumsi produk luar yang membanjir dan memproduksi keunggulannya untuk bersaing di pasaran global.

Membangun Optimisme
Melihat fenomena nasional dan lokal yang penuh dengan kompleksitas masalah ini, masih bisakah kita berharap untuk menjadi lebih baik di tahun 2015 ini? Sebelum saya mengulas ini, kutipan risalah dari penyair Taufik Ismail kiranya dapat menghantar kita. ‘Masih adakah orang jujur di negeri kita? Adakah? Ada, tapi mereka tidak bersuara. Masih adakah orang waras di negeri kita? Adakah? Ada, tapi mereka tak berdaya. Masih adakah orang berakhlak di negeri kita? Adakah? Ada, tapi mereka tidak berwibawa. Masih adakah orang ikhlas di negeri kita? Adakah? Ada, tapi mereka dianggap tiada.Kalau begitu, apakah kita masih bisa berharap? Masih adakah harapan di negeri kita? Adakah? Ada,karena ada ‘cahaya’ di atas kita untuk menuntun ke jalan pencerahan. Berilah mereka kesempatan muncul menyembuhkan penyakit bangsa gara-gara demokrasi serba serakah, bablas dan tidak beradab”. Risalah kebangsaan ini pernah dibawakan Taufik di akhir acara Mata Nadjwa di Metro TV yang mempertemukan beberapa aktivis 98 untuk membahas nasib agenda reformasi.

Memang benar, bahwa sulit bagi kita sebagai pelanjut dan anak kandung reformasi untuk berharap di tengah ketidakpastian bangsa di segala lini kehidupan. Namun, apakah itu dijadikan alasan untuk tidak bermimpi? Jika kita tidak punya mimpi lagi maka saya anjurkan agar para penulis berhenti menoreh tinta kritisnya di atas lembaran publik, media berhenti mengeritisi pemerintah, aktivis berhenti berteriak di  jalanan, guru berhenti mengajar dan pelajar berhenti belajar. Biarkan negeri ini menjadi ladang pembantaian bersimbah darah, dimana homo homini lupus ala Hobbes mencapai pemenuhan.

Namun, Tidak! ‘Cahaya’ yang dimaksudkan Taufik Ismail dalam lembaran syair di atas adalah segelintir orang jujur, waras, berakhlak dan ikhlas dalam membangun bangsa ini keluar dari gelapnya terowongan sejarah. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersuara,  tak berdaya, tidak berwibawa dan dianggap tiada. Mereka adalah orang-orang yang merasa terasing akibat kejenuhan sistemik akibat sistem yang dikuasai segelintir orang serakah, oligarkis dan kleptomaniak. Ruang mereka terisolasi akibat dominasi orang-orang serakah dalam ruang politik, sosial, dan budaya.

Karena itu, membangun optimisme pertama kali menyalakan cahaya yang hampir redup ditelan badai ketamakan dan devolusi kesadaran.  Membangun optimisme mengandung keyakinan bahwa kita adalah bagian dari segelintir ‘cahaya’ yang bisa membawa bangsa ini keluar  dari kegelapan sejarah. Kebangkrutan kita sebenarnya bukan karena jumlah orang jahat yang merajalela, tetapi karena ada orang baik yang lebih memilih diam.

Frasa ‘cahaya’ selain sebagai pencerah juga bermakna tanggungjawab. Kita yang masih memiliki mimpi untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan bangsa  bertanggungjawab dalam mengatasi persoalan bangsa yang kian pelik dan mengharukan. Kepahitan akibat bencana alam, politik, sosial dan budaya memang menyimpan isyarat keruntuhan. Namun, kesuraman itu dapat menjadi media belajar dalam meraih kedewasaan sebagai bangsa .

Tragedi AirAsia bernomor penerbangan QZ 8501 yang bergemilang air mata, merupakan sebuah panggilan kemanusiaan. Kita harus belajar bahwa dibalik persitiwa ini ada optmisme kemanusiaan di tengah dehumanisasi peradaban. Nilai-nilai kebersamaan, solidaritas nasional bahkan internasional, gotong royong, semangat nasionalisme sedang mendapatkan tempat dalam proses evakuasi korban yang menggetarkan. Tragedi ini adalah miniatur keindonesiaan yang paling jujur. Kini, tidak ada waktu lagi untuk tenggelam dalam duka, tetapi belajar bahwa bencana sedang memacu kita menjadi bangsa yang tegar dan beradab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun