Mohon tunggu...
Irvan Eleven
Irvan Eleven Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Siklus Korupsi!

31 Desember 2018   07:24 Diperbarui: 31 Desember 2018   07:53 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : amanahru.blogspot.com


Indonesia merupakan sebuah negara maritim yang sebagian besar wilayahnya terdiri pulau-pulau dan lautan. Di indonesia sendiri menganut sistem pemerintahan demokrasi, dimana rakyat langsung berpartisipasi dalam upaya untuk mengembangkan negaranya. Hal ini sangat tersirat di dalam aktivitas kenegaraan sehari-hari maupun pada musim atau event tertentu, Contohnya dalam bidang politik. 

Indonesia menganut demokarasi terpimpin dimana masing-masing wilayah atau daerah memilih wakilnya untuk mewakilkan atau menyambung lidah aspirasi masyarakat dan di sampaikan ke aparatur negara. Melalui pemilihan umum yang biasanya di lakukan pada musim-musim tertentu.

Sedikit flashback ke masa lalu. Pemilihan umum pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah kemerdekaan. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu yang paling demokratis, walaupun pada saat itu keamanan negara masih dibilang kurang kondusif. 

Ada beberapa daerah yang tengah dirundung kekacauan oleh DI atau TII. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan pada saat itu berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat ke pemerintahan.
Seiring berjalannya waktu calon-calon wakil negara tidak mau ambil pusing untuk meraih suara rakyat. 

Mereka seakan-akan menghalalkan segara cara untuk mencapai keinginannya. Mereka hanya perlu mempersiapkan modal yang banyak dan membentuk panitia kecil-kecilan yang biasa disebut tim sukses. Mereka bergegas mendatangi rumah demi rumah dengan berjuang (beras, baju dan uang) dengan syarat harus memrilih kandidat atau pasangan calon yang di tawarkan oleh tim tersebut. 

Ada juga jurus mereka yakni dengan menyamar sebagai pengantar koran atau majalah yang tugasnya mengantar koran ke rumah warga. Dengan melemparkan atau meletakkannya di bawah pintu rumah atau di depan teras rumah. Setelah si pemilik rumah (warga)  mengambil koran tersebut, ada selembar amplop yang jatuh dari dalam koran tersebut. Dan setelah dibuka berisi sejumlah uang dan kertas kecil yang menggambarkan paslon yang di anjurkan untuk dipilih. Mereka mencari moment yang tepat sekiranya para warga tak berani menolak ajakan mereka.

Tentu siklus diatas menghabiskan biaya yang tidak sedikit, yang mungkin biaya nya di dapat dari meminjam di bank atau pun yang lain. Inilah yang menjadi sabab musabab dan cikal bakal terjadinya praktek korupsi. Banyak dari para calon wakil negara ketika sudah terpilih dan sudah di lantik, mereka sudah di rundung bingung yang tak berkesudahan bagaimana caranya mengembalikan uang yang telah di keluarkan pada masa kampanye dan menjalankan misi terselubung nya. 

Dan mereka pun tak mau ambil pusing dan tak sabar menunggu lama untuk mengembalikan modal nya yang telah hilang tadi. Dari pusing memutar otaknya, sampai-sampai menghalalkan segala cara termasuk korupsi yang saya yakin bahwa mereka (para pejabat negara) tahu kalau yang dilakukaknnya itu salah dan merugikan negara pastinya. 

Mereka membuat suatu kegiatan atau agenda dengan biaya yang begitu besar dan tak selaras dengan agenda yang hanya beberapa hari dan terkesan tak masuk akal untuk seorang aparatur negara mengadakan agenda tersebut. Ini tak lain hanya di jadikan kedok untuk meraup uang yang begitu besar dengan waktu yang singkat. Disinilah letak kelicikan mereka memanfaatkan celah yang ada untuk mencapai kepentingan pribadinya.

Mereka pun sudah bekerja sama dengan dewan negara atau bahkan pengawas negara yang lain pada bidang sisi yang berbeda. Untuk menjaga-jaga ketika aksinya mulai di endus oleh pengawas negara ataupun kpk sendiri. Mereka sudah tak khawatir karena sudah ada kongkalikong diantara mereka dengan kesepakatan yang disetujui kedua belah pihak. 

Fan biasanya banyak memunculkan sandiwara yang terkesan bodoh dan lucu bahkan tak masuk di rasio masyarakat umum. Ini tidak lain hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat agar tak begitu tampak aksi para koruptor ini. Begitu mirisnya birokrasi kita, yang seakan begitu mudahnya untuk mencapai tujuan politik hanya dengan bermodalkan mental berani untuk meminjam modal sana-sini untuk di jadikan modal dalam berpolitik. 

Sudah dapat membeli sebgian suara rakuat atau bahkan sampai mayoritas suara yang menyebabkan paslon ini bisa menang. Siklus ini sudah berlangsung dalam jangka tidak sebentar. Seiring berjalannya waktu kecerdikan para paslon dalam memanfaatkan celah yang sudah diketahui di depan mata. Sayangnyanini tak diimbangi oleh kecerdasan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya atau suaranya demi memajukan negara kita tercinta ini.

Masyarakat harus pitar dan jeli dalam menentukan hak pilihnya. Sedikit banyak harus mrngetahui background para paslon yang akan berkompetisi. Mulai dari perjalanan hidupnya, keahliannya,  sosok figurnya dan sisi-sisi yang lain yang tak begitu kalah pentingnya. Jangan hanya termakan oleh bujuk rayu dan ajakan dalam bentuk berjuang (beras, baju dan uang)  semata. 

Harus memilih fdengan hati nurani dan mulailah memikirkan nasib negara ini kedepannya. Tanamkan prinsip "suara mu dapat menentukan maju mundurnya negara ini". Dengan begitu masyarakat lebih berhati-hati di dalam menentukan pilihannya. Dan semoga birokasi kita semakin baik kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun