Energi Baru Terbarukan (EBT) akan menjadi pembahasan yang sangat menarik sampai puluhan tahun kedepan. Betapa tidak, hingga saat ini terdapat banyak kendala tentang kemampuan sumber daya alam untuk menyuplai energi yang dibutuhkan. Bahkan saat ini sumber daya alam tersebut mulai terbatas dan menipis seiring waktu berjalan. Hal tersebut terjadi diseluruh belahan dunia dan termasuk juga dengan kita di Indonesia yang saat ini masih bergelut dengan keterbatasan energi listrik yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Bahkan dibeberapa wilayah di Indonesia sudah dilakukan pemadaman bergilir apabila strategi brownout (penurunan level tegangan) sudah tidak memadai.
Hal ini sangat disayangkan sampai terjadi, dimana keterbatasan sumber energi listrik menjadi masalah disaat substitusi sumber energi listriknya belum sepenuhnya dikembangkan ataupun dimanfaatkan dengan maksimal. Saat ini kita sudah mengenal luas dengan energi baru terbarukan yaitu yang bersumber dari alam seperti: Surya, Panas bumi, angin, air, biomassa, biogass, dan lain sebagainya. Menurut "Engineer Weekly" yang diterbitkan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih pada angka 19,1% pada tahun 2013 sementara dari Bahan Bakar Fosil (BBF) sebesar 78,3% dan 2,6% sisanya adalah dari Energi Nuklir. Perbandingannya dapat kita lihat pada bagan Berikut ini:
Kemudian di Indonesia sendiri, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) masih belum maksimal. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan sumber energi per 2015 masih dikuasai oleh energi fosil. Perinciannya, sumber energi minyak bumi masih menjadi tumpuan utama masyarakat Indonesia dengan mencapai 43%. Diikuti energi batubara sebesar28 % dan gas bumi 22 %. Sedangkan penggunaan EBT baru mencapai 6,2 %.
Statistik diatas sangat menarik, dimana persentasi penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sangat minim bahkan tidak sampai 1%. Hal ini semakin menjadi perhatian dikarenakan Potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp.
Sementara jelas kita ketahui bahwa matahari merupakan salah satu sumber energi alternatif yang diperkirakan dapat dimanfaatkan sampai miliaran tahun ke depan (tidak ada habisnya). Secara umum ada dua cara yang digunakan untuk mengubah energi matahari menjadi energi listrik. Cara pertama adalah menggunakan energi panas yang dipancarkan oleh matahari. Cara kedua adalah dengan memanfaatkan energi yang dibawa oleh cahaya matahari, melalui partikel foton.
Energi panas matahari dapat diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan sistem energi matahari terkonsentrasi atau concentrated solar power system (CSP system). Dalam sistem ini, panas dari matahari dikonsentrasikan untuk memanaskan air atau fluida lain yang nantinya akan menghasilkan uap dan digunakan untuk memutar turbin sehingga menghasilkan listrik.
Untuk menghasilkan listrik dengan foton, dibutuhkan perangkat khusus berupa sel fotovoltaik / photovoltaic(PV), atau yang lebih dikenal dengan nama sel surya. Sel fotovoltaik terbuat dari semikonduktor yang memiliki sambungan p-n. Sel fotovoltaik yang terkena sinar matahari akan melepaskan elektron yang nantinya akan menjadi arus listrik. Untuk dapat menghasilkan arus listrik, foton harus memiliki energi yang lebih tinggi daripada pita energi (band gap) material pembentuk sel fotovoltaik tersebut. Band gap adalah jumlah energi minimal yang diperlukan elektron pada suatu material untuk dapat tereksitasi.
Mengingat permasalahan energi dunia saat ini, pengolahan sumber energi dengan efisiensi tinggi menjadi sangat diperhitungkan. Namun diantara begitu besarnya potensi dari penggunaan matahari ini sebagai sumber energi masalah yang paling mendasar dihadapi saat ini adalah efisiensi matahari yang dapat dikonversikan. Material paling umum digunakan pada sel fotovoltaik terbuat dari bahan silikon dan memiliki satu sambungan p-n hanya dapat menghasilkan listrik dengan efisiensi maksimum sebesar 31%. Angka efisiensi ini masih sangat rendah untuk ukuran konversi energi. Hal ini dikarenakan sebagian besar cahaya matahari yang mengenai sel fotovoltaik memiliki energi lebih rendah daripada band gap sehingga tidak dapat diubah menjadi listrik. Faktor lain yang mengurangi efisiensi dari sel fotovoltaik tipe ini adalah cahaya matahari dengan energi yang lebih tinggi daripada band gap mengubah kelebihan energinya menjadi radiasi panas, bukan listrik.
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi dari sel fotovoltaik. Salah satunya adalah dengan menggunakan beberapa sel yang memiliki band gap yang berbeda secara bersamaan sehingga bisa menyerap seluruh energi dari cahaya matahari baik yang memiliki energi rendah maupun tinggi. Cara berikutnya adalah dengan menggunakan sistem sel termofotovoltaik / thermophotovoltaics (TPV). Â Bahkan saat ini sudah banyak metode yang dikembangkan para peneliti dengan metode Maximum Power Point Tracking (MPPT) untuk lebih memaksimalkan efisiensi sel surya tersebut.
Namun masalah yang masih dihadapi sampai saat ini adalah belum ditemukannya material yang mampu mengkonversikan energi matahari kedalam energi listrik yang mencapai 60% atau lebihnya. Untuk implementasi dilapangan saat ini, kebanyakan jenis semikonduktor yang digunakan pada sel surya, efisiensinya masih mencapai 15-20%.Sedangkan pada skala Laboratorium sudah mencapai 60-70%.
Namun saya mau mengajak semua pembaca yang mulia, dari seluruh energi baru terbarukan (EBT) yang sudah dan sedang dikembangkan di Indonesia dan juga diseluruh dunia Matahari merupakan potensi yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan guna mendapat sumber energi yang sangat besar. Â Betapa tidak, bisa kita bayangkan bahwa sumber matahari tidak akan pernah habisnya dan setiap titik dimuka bumi ini mendapat cahaya yang dihasilkan oleh matahari (bukan hanya panasnya). Memang dari beberapa kajian yang sudah dilakukan para Ilmuan, terdapat titik-titik yang mempunyai potensi mendapat pancaran sinar matahari paling maksimal dipermukaan bumi. Namun secara keseluruhan, disetiap tempat mendapat pancaran sinar matahari.
Di beberapa negara-negara sudah banyak sekali dikembangkan penggunaan solar cell (sel surya) sebagai sumber energi dalam rumah tangga. Memang salah satu kendala yang masih menjadi penghambat pengembangan teknologi ini adalah mahalnya biaya infrastruktur/instalasi solar cell jika dibandingkan dengan menggunakan listrik yang kita gunakan. Namun untuk Indonesia, kita harus kembali mengingat bahwa adapun harga listrik kita yang murah per kWh nya adalah dikarenakan besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah.
Semoga pemanfaatan sumber energi matahari ini semakin banyak dikembangkan dan terus dilakukan penelitian, pengembangan dan pengujian agar dapat dimaksimalkan potensi yang terdapat didalamnya guna memenuhi kebutuhan energi yang saat ini hampir seluruhnya masih menggunakan sumber fosil.
Semakin pintar kita mengelola Matahari, semakin sedikit kita menggali bumi,,,,
Salam,
 Irvando Damanik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H