Menurut Goodlad, et al (Webb: 2002: 47-61), ada tiga gagasan yang diterima secara umum dalam literatur pendidikan tentang guru yang profesional. Pertama, seorang profesional harus memiliki tingkat bakat dan keterampilan yang tinggi. Kedua, profesional harus menggunakan keilmuannya untuk mendukung pekerjaannya, ketiga, profesional harus memiliki otonomi untuk membuat keputusan yang menggabungkan antara keterampilan dan pengetahuannya. Alasan konseptual mengemukakan bahwa guru memerlukan keterlibatan pemikiran kompleks yang efektif dalam pekerjaannya. Misalnya, keragaman siswa memerlukan guru yang dapat mempertimbangkan cara mengajar yang sesuai supaya materi dapat disampaikan kepada siswa dengan berbagai latar belakang kemampuan.
Educational Leadership dalam Supriadi (1998:98) menulis bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
1.Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2.Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3.Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4.Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5.Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Kesimpulannya ialah seorang guru dikatakan profesional jika ia seorang ilmuwan yang dibekali dengan kemampuan dan keterampilan untuk menjadi guru. Ia harus menguasai keterampilan metodologis, karena menurut Budiningsih (2005), keterampilan metodologis inilah yang menjadi ciri khas yang membedakan guru dengan profesi lainnya.
Profesionalisme (professionalism) berarti sifat profesional. Menurut Danim (2002:23) orang yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama. Tidak jarang pula orang yang berlatar belakang pendidikan sama dan bekerja pada tempat yang sama menampilkan kinerja profesional yang berbeda, serta berbeda pula pengakuan masyarakat kepada mereka. Profesionalisme berarti sifat yang ditampilkan dalam perbuatan, bukan yang dikemas dalam kata-kata yang diklaim oleh pelaku secara individual. Jadi profesionalisme berarti suatu komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya.
Menurut Sanusi, et al (1991:20), profesionalitas mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
Profesionalitas mengandung dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aksentasinya dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antar rekan se profesi, penelitian dan pengembangan, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi itu. Sedangkan Hoyle (Dean, 1991:38) berbicara profesionalitas sebagai suatu sikap terhadap praktik profesional suatu pekerjaan dan tingkat keterampilan serta pengetahuan dalam pekerjaan tersebut.
Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan professional (professional development), baik dilakukan melalui pendidikan/ latihan ‘prajabatan’ maupun ‘dalam jabatan’. Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan proses yang life-long dan never-ending, secepat seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.
B. Ukuran Guru yang Berkualitas
Tantangan baru yang muncul kemudian dalam rangka pelaksanaan tugas keprofesionalan seorang guru atau pendidik, seiring dengan terbitnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005 adalah tantangan normatif berupa sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru profesional. Meskipun di dalamnya ada harapan baru berkaitan dengan tingkat kesejahteraan guru, tetapi sekaligus menjadi buah kecemasan dan penantian yang belum pasti bagi pendidik atau guru.
Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Pemerolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru.
Ada dua kriteria utama yang menjadi syarat untuk sampai kepada maksud tersebut, yakni (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1 – 3): (1) Memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), dan (2) Memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran.