Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Cerita Indonesia 25 Tahun ke Depan

28 September 2016   22:39 Diperbarui: 28 September 2016   22:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai anak muda yang lahir di pangkuan ibu pertiwi, pasti kita menerka dan meramal akan jadi apa Indonesia di masa depan. Tidak ada maksud menjatuhkan atau mengarah pada suatu lembaga. Bagi saya, opini adalah hak seseorang mengekspresikan pendapatnya baik bersifat membangun atau tidak.

Jadi begini ceritanya, di suatu malam dengan kopi hangat tersedia di samping laptop, saya berselancar di dunia maya. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah berita yang bertuliskan salah seorang menteri meminta Rini Sumarno mencopot Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia, Arif Wibowo. Alasannya? Sepele sekali, trigger-nya karena sang menteri telat datang ke bandara, namun dialihkan ke jadwal lain dan pesawatnya mengalami delay.

Kronologisnya pesawat berangkat pukul 08.05 namun sang menteri datang ke bandara pukul 08.00 tepat. Alhasil karena tidak mungkin menunda penerbangan, sang menteri dijadwalkan mengikuti penerbangan ulang pukul 10.00.

Sayangnya, setelah mengikuti penerbangan lain buah ketelatannya, ia mendapat delay 1,5 jam dari maskapai pelat merah itu. Ia kembali mencak-mencak menyuruh Menteri BUMN itu mencopot direksi PT Garuda Indonesia.

Padahal, dari penelusuran saya, pesawat garuda tersebut mengalami delay karena gangguan teknis. Dan setahu saya traffic Bandara Adisutjipto Yogyakarta saat pagi memang cukup padat menyebabkan holding pesawat cukup lama. Bagi yang sering terbang ke sana pasti pernah mengalaminya.

Hingga tulisan ini ditulis, saya harap hal konyol yang dilakukan menteri itu tidak benar-benar dikabulkan. Setidaknya jika dikabulkan, profesionalisme sang menteri patut dipertanyakan.

Jauh dari permasalahan telat, kita beralih ke masalah kesehatan. Ingatkah kita dengan Dokter Warsito, peneliti sekaligus pendiri perusahaan PT Edwar Technology, perusahaan yang bergerak di bidang produksi helm dan rompi pembasmi kanker.

Setelah perusahaannya ditutup oleh Kementerian Kesehatan dan membuat Warsito mem-PHK 100 karyawannya, ia berencana menjalin kerjasama dengan negara Singapura. Alasannya? Singapura akan mendanai risetnya yang tergolong sangat mahal. Rompi dan helm pembasmi kankernya pun kini tengah diperdebatkan label buatannya. Apakah akan menggunakan label buatan Indonesia atau Singapura.

Saya tidak mempermasalahkan label mana hasil penelitiannya berasal. Walau dari segi bisnis jika labelnya akan tercantum nama made in Singapura tentunya negeri merlion itu yang akan mendapat uang dari penjualan hasil penelitian Warsito.

Saya hanya menyayangkan kenapa Indonesia baru kebakaran jenggot ketika Warsito melakukan hal ini. Padahal, investasi dalam bidang kesehatan adalah investasi tergolong mahal namun mempunyai jangka manfaat yang panjang.

Setelah membahas menteri terlambat dan penelitian kanker orang Indonesia yang dihentikan, kita kembali kepada tumpuan masa depan bangsa Indonesia, mahasiswa. Tentunya Indonesia 25-30 tahun ke depan pasti akan dipimpin oleh mahasiswa yang sedang mengenyam ilmu ini.

Hanya saja, saya kembali tergelitik ketika menemukan kembali celotehan di media sosial bahwa di sudut kampus di Indonesia, sebuah organisasi tidak diterima ketika dikritik oleh seorang mahasiswa lain. Padahal, tidak selamanya kritik bersifat negatif. Jika bersifat negatif, tentu khalayak lebih tahu ingin menyerap yang mana.

Alih-alih menyalahkan kritik, setidaknya sang penerima kritik mempunyai dua tindakan yang harus dilakukan ; pertama, membungkam mulut sang pengkritik dengan aksi nyata untuk membuktikan bahwa kritikannya salah. Kedua, melakukan pembelaan terhadap kritikannya dengan bentuk klarifikasi namun hanya sekedar pembelaan, ya pembelaan saja.

Sayangnya, sebagian kita mahasiswa lebih cenderung memilih tindakan kedua, melakukan pembelaan, ya pembelaan saja tanpa aksi nyata untuk membungkam kritikan sang pengkritik. Padahal, kita sendiri tahu bahwa melakukan hal kebaikan atau tidak pasti mempunyai jalan terjal di depan. Pertanyaannya, siapkah kita memerjuangkannya atau kalah karena kritikan?

Kalau aktivis mahasiswa saja tidak bisa menerima kritik, bagaimana Indonesia selanjutnya? Apakah akan terdapat perbedaan dengan Indonesia yang sekarang? Karena bagi saya, saya meyakini bahwa  aktivis adalah calon pemimpin Indonesia di masa depan.

Irvan Cendickya Wira Artha

Mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis

Angkatan 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun