Ia sangat menyayangkan jika Pemerintah Pusat mendengar informasi tentang Kalbar hanya sepihak, pemerintah pusat lanjutnya harus turun kelapangan untuk melihat kenyataan yang terjadi. “Pusat itu mengambil keputusan jangan hanya duduk di meja turun ke lapangan sampai kepolosok sana,” tegasnya.
Data tidak akurat menjadi Permasalahan Mendasar
Seperti yang tertuang di dalam buku Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah terbitan Bappenas dan Depdiknas pada tahun 2011, Perhitungan kebutuhan guru di Sekolah Dasar (SD)didasarkan atas jumlah kelas dan bukan jumlah murid. Formula kebutuhan guru di SD ialah satu Kepala Sekolah, jumlah guru sesuai dengan jumlah rombongan belajar, 1 guru agama, 1 guru olahraga, dan 1 penjaga sekolah.
Untuk sekolah menengah, perhitungan kebutuhan guru didasarkan atas formula 1 kepala sekolah, 4 pembantu kepala sekolah (bidang kurikulum, akademik, kesiswaan dan hubungan masyarakat), guru mata pelajaran (dihitung menurut beban mengajar 18-24 jam perminggu), tenaga admnistrasi dan penjagaan sekolah.
Dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa dalam realisasinya guru yang sudah mendapatan SK PNS ditempatkan di sekolah-sekolah yang memerlukan guru atau sekolah yang bersedia menerima guru baru. Namun sistem penempatan belum sepenuhnya mengacu pada data yang akurat tentang distribusi dan kebutuhan guru dilapangan.
Permasalah akurasi data diakui oleh Alexius Akim bahwa data kebutuhan guru tidak ia dapat dari pemerintahan Kabupaten/kota melainkan dari Data Pokok Pendidikan(Dapodik) Kementerian Pendidikan, menurutnya Dinas Pendidikan Kabupaten/kota harusnya dapat menganalisis kebutuhan guru yang kemudian dilaporkan ke Bupati/walikota melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD). “BKD inilah yang selalu mengusulkan ke BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan Menpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi)mengenai kebutahan guru mereka setiap tahun,” katanya.
Sebagai akibat dari ketidak akuratnya data, persoalan mendasar yang dihadapi ialah pendistribusian guru yang tidak merata atau ketidaksesuaian perhitungan kebutuhan guru.
Duduk Bersama
Manajemen pengelolaan guru tak kunjung menunjukan perbaikan dari perekrutan calon guru, kesejahteraan guru, pengembangan karir guru hingga pendistribusian guru.Hal ini disinyalir karena belum jelasnya tugas dan fungsi antara pemerintahan pusat dan daerah.
Menurut Samion, Kepala Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kalbar antara pemerintah pusat, daerah dan kabupaten/kota harus duduk bersama dalam memetakan kebutuhan guru. “Selama inikan semuanya sudah diambil oleh pusat. Pusat tidak mau tahu apa kepentingan daerah. Baik daerah teriak-terik bagaimanapun kalau udah berkaitan dengan dana habis ceritanya,” ungkapnya.
Kebijakan Otonomi daerah lanjut Samion seakan dipersulit oleh pemerintahan pusat. “Seharusya untuk pendidikan itu merupakan salah satu bidang yang diotonomikan,”ujarnya. Ia mencontohkan seperti permasalahan daerah terpencil di Kalbar yang tidak diakui oleh pemerintahan pusat sehingga para guru yang mengajar didaerah terpencil tersebut tidak mendapatan tunjangan lantaran tidak diakui sebagai daerah terpencil. “Itu berarti tidak ada kebersamaan berpikir untuk menetapkan daerah terpencil. Harusnya duduk semeja, bila perlu pusat lakukan survei, betulkah ini terpencil,” tambahnya.