Kata bangsawan, di benak saya, tidak melulu tentang priyayi, orang yang punya gelar kerajaan, atau sejenisnya. Untuk saya, bangsawan punya satu arti lain.
Adalah bos saya ketika saya masih bekerja di Tabloid BOLA. Namanya (almarhum) Sumohadi Marsis. Ketika awal bekerja, saya masih setia datang pagi hari dan pulang tidak terlalu malam. Pokoknya, kehidupan sebagai wartawan ketika itu belum mengubah kebiasaan bangun pagi.
Lama kelamaan, saya harus terlibat deadline yang dilakukan pada dini hari. Untung saja, Tabloid BOLA ketika itu masih terbit satu kali per pekan, jadi deadline dini hari juga hanya satu kali.
Namun, itu sudah cukup untuk mengubah rutinitas saya. Saya jadi terbiasa untuk bangun siang, berangkat ke kantor tak kena macet. Pulang nyaris tengah malam. Tidak ada macet juga
Sampai suatu ketika, kami semua diminta datang pagi untuk rapat. Pukul 9 pagi! Semua lantas berpikir akan bangun pukul berapa? Sudah pasti, kita semua harus berangkat pagi dan itu berarti macet habis!
Pak Sumo, demikian saya memanggilnya, hanya tertawa ketika melihat tampang kuyu kami di ruang rapat. Seharusnya masih tidur, tapi sudah harus rapat.
"Kalian ini. Bangsawan semuanya," kata Pak Sumo ketika itu.
Kami semua heran. Apa pula maksudnya?
"Bangsa tangi awan," lanjut Pak Sumo.
Karena diucapkan dalam bahasa Jawa, maka bunyinya adalah bongso tangi awan, alias orang-orang yang biasa bangun siang. Oalah!