Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Qatar dan Gegar Budaya Massal

23 November 2022   13:47 Diperbarui: 25 November 2022   09:10 1588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak ada ban "One Love" di lengan Harry Kane, melainkan "No Discrimination". (Visionhaus/Getty Images)

Ketika resmi menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, Desember 2010, Qatar mulai terekspos ke dunia. Dan, dunia lantas mengalami gegar budaya, atau lebih tepatnya dunia di bagian barat alias Eropa dan Amerika.

Qatar, secara resmi, adalah negara monarki semi-konstitusional, namun kadang lebih mengarah ke monarki absolut. Saat ini, Qatar dikuasai oleh House of Thani. Qatar menjadi protektorat Inggris pada awal abad ke-20 hingga merdeka pada 1971. Emir saat ini, Tamim bin Hamad Al Thani, memiliki wewenang eksekutif dan legislatif, di bawah UU Qatar, demikian pula dengan yudikatif. Tamim menunjuk perdana menteri dan anggota kabinet.

Yang paling penting, Qatar adalah negara Islam konservatif, menganut Islam Syariah. Islam juga menjadi agama resmi di Qatar. Lebih dari 65 persen penduduk Qatar adalah muslim.

Ini yang menjadi "mainan" media barat. Mereka menyatakan bahwa Qatar tidak mendukung gaya hidup LGBT dan juga melarang minum minuman beralkohol. Yah, memang begitu adanya.

Soal alkohol. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Qatar menjadi tuan rumah kontroversial. Menurut Syariah Islam, minuman alkohol adalah haram hukumnya. CEO Panitia Piala Dunia, Nasser Al Khater, berkata: "Alkohol bukanlah bagian dari budaya kami."

Panitia Piala Dunia sempat mengizinkan Budweiser, sponsor bir untuk Piala Dunia, membuka stand penjualan di tempat tertentu, yaitu di stadion dan perimeter yang masih masuk ke kegiatan Piala Dunia. Bir dilarang dijual di luar restoran dan bar, terutama di hotel-hotel resmi.

Akan tetapi, dua hari sebelum Piala Dunia bergulir, panitia mengatakan kepada FIFA bahwa keluarga kerajaan akhirnya melarang sepenuhnya penjualan bir selama Piala Dunia bergulir.

Budweiser dan perusahaan induk, Anheuser-Busch InBev, sama sekali tak bisa dibilang senang. Mereka telah membayar sebanyak 75 juta dolar ke FIFA untuk menjadi sponsor.

Pelarangan itu membuat FIFA harus memodifikasi kontrak dengan Budweiser. FIFA menyatakan terima kasih tak terhingga atas pengertian dan dukungan dari AB InBev.

Lalu, pada 23 November 2022, Budweiser punya solusi tersendiri. Mereka akan mengirim SEMUA bir, yang sedianya dijual selama Piala Dunia di Qatar, ke negara pemenang Piala Dunia, menurut CNN Business dan juga dari tweet dari Budweiser. Pokoknya, Budweiser akan merayakan Piala Dunia yang semula akan dilakukan di semua stadion Piala Dunia, namun kini akan dipindahkan negara juara.

Masalah bir bisa dikatakan kelar. Kini berpindah ke LGBT.

Saat ini, nyaris semua negara Barat sudah mendukung LGBT. Jadi, mereka tidak bisa mengerti mengapa Qatar tidak bisa. Debat kusir terjadi di mana-mana. Itu berhubungan dengan Piala Dunia, di mana semua orang, tak peduli orientasi seksual mereka, akan datang ke Qatar. Dan, karena Qatar tidak mendukung LGBT, maka mereka yang masuk kelompok itu mengurungkan niatnya untuk datang. Lagipula, dikatakan bahwa Qatar memberlakukan hukuman berat untuk mereka yang diketahui masuk dalam kelompok LGBT.

Kalau menurut saya, mengapa harus batal datang? Bisa saja tetap datang, tapi tak perlu membawa bendera pelangi atau melakukan public display of affection alias bermesraan di depan publik. Bukan, begitu? Tapi, rupanya tidak seperti itu.

Bahkan, tim-tim Eropa sudah berniat untuk memakai ban kapten "One Love", yang merupakan dukungan untuk LGBT. Akan tetapi, FIFA akan menghukum tim-tim peserta dengan kapten yang mengenakan ban kapten itu.

Si pemain akan langsung mendapat kartu kuning kalau tetap memakai ban kapten "One Love". Dan, hanya beberapa jam sebelum pertandingan yang digelar pada Senin, 21 November 2022, tim-tim Eropa lantas batal untuk memakaikan "One Love" di lengan kaptennya.

Pertandingan pertama pada 21 November yang diikuti oleh tim Eropa adalah laga antara Inggris melawan Iran, yang merupakan laga pembuka Grup B. Kapten Inggris, Harry Kane, tampil tanpa "One Love" di lengannya.

"Saya rasa kami semua merasa kecewa. Saya mengatakan kami akan memakainya hari ini, namun keputusan itu lantas dihentikan. Saya memakai ban kapten yang pernah saya pakai dan diberi tahu bahwa saya akan memakai itu selama Piala Dunia ini. Ini semua di luar kendali pemain. Yang terpenting, kami fokus pada permainan dan mendapatkan hasil bagus," kata Kane, seperti dikutip dari MSN Sports.

Tidak ada ban
Tidak ada ban "One Love" di lengan Harry Kane, melainkan "No Discrimination". (Visionhaus/Getty Images)

Sudah pasti mereka yang ada di luar sana juga kecewa, namun itu tak seberapa dibanding suatu peristiwa yang terjadi pada Oktober 2021. Saat itu, David Beckham setuju untuk menjadi duta budaya Qatar selama 10 tahun. Jadi, tak hanya untuk Piala Dunia, namun Beckham juga akan mempromosikan pariwisata dan budaya Qatar.

Tentu saja, tidak gratis. Beckham dikabarkan mendapat bayaran total 150 juta poundsterling untuk kerja 10 tahun. Menurut London Evening Standard, Beckham sudah berkonsultasi dengan istrinya, Victoria, sebelum menerima tawaran Qatar itu.

Para Beckham-haters mungkin hanya tertawa, namun tidak dengan kelompok LGBT di Eropa Barat. Mereka kaget, kecewa, dan bisa saja menganggap Beckham sebagai pengkhianat. David Beckham mendapat "kehormatan" untuk mendapat tag sebagai gay icon, sejak ia muncul di halaman muka majalah gay, Attitude, pada 2002. Beckham dianggap sebagai pionir di sepak bola, sebuah olahraga yang dianggap homofobik.

Beckham pun tak keberatan dengan tag gay icon. Ia punya banyak teman di sana. Mendukung mereka juga. Mereka menganggap Beckham sebagai role model kelas wahid.

Kini, lain ceritanya. Beckham menerima kerja dari Qatar, sebuah negara yang tak menerima LGBT, dituduh memperlakukan kaum perempuan dan pekerja migran dengan tak adil.

Namun, Beckham sudah kenal Qatar sejak ia bermain di Paris Saint-Germain, pada 2013. Ia berteman dengan presiden PSG yang juga presiden Qatar Sports Investment, perusahaan negara yang membeli PSG, Nasser Al-Khelaifi.

Beckham juga bukan orang yang asing dalam hal menjadi duta sebuah produk, organisasi, dan dalam hal ini, negara. "Qatar bermimpi untuk membawa Piala Dunia ke tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya. Tidak akan cukup untuk hanya berprestasi di lapangan hijau. Lapangan itu hanya berfungsi sebagai platform untuk berkembang lebih lanjut," kata Beckham, seperti dikutip dari The Guardian.

Namun, untuk seseorang Peter Tatchell, seorang pendukung hak asasi manusia, yang berkunjung ke Qatar sebulan sebelum Piala Dunia dimulai untuk mengadakan demo satu hari, sama sekali tak terkesan dengan kata-kata Beckham itu.

"Meski Qatar adalah negara yang seksis, homofobik, dan rasis, Beckham disebut mengatakan negara itu sempurna. Beckham pernah menjadi teman dan icon LGBT. Sekarang tidak lagi. Dia menerima uang untuk itu, mengalahkan prinsip. Tampaknya dia sudah dikendalikan oleh keserakahan," kata Tatchell.

Lalu, apakah merek Beckham akan meredup setelah ia menerima tugas dari Qatar? Sepertinya tidak. Beckham tetap mempertahankan daya tariknya selama lebih dari seperempat abad. Bukanlah yang pertama untuk Beckham bekerja untuk negara otoriter.

Pada 2013, Beckham setuju untuk menjadi duta sepak bola Cina, padahal pada saat itu, sepak bola di negara itu dibayangi dengan skandal pengaturan pertandingan dan hengkangnya para pemain tim nasional dari Super League.

Meski demikian, merek Beckham tetap berkembang. Perusahaan Beckham, DB Ventures, menyebutkan kontrak dengan Adidas, perusahaan video game Electronic Arts, jam tangan Tudor, dan scotch whisky Haig Club. Pada 2020, perusahaan itu mengumumkan keuntungan setelah pajak sebanyak 10,5 juta pound dengan penghasilan 11,3 juta pound. Sama sekali tidak buruk untuk pria berusia 47 tahun yang pensiun sebagai pesepak bola pada 2013.

Menurut Andy Milligan, penulis buku "Brand It Like Beckham", menyatakan meski sudah kaya raya, Beckham sangat membumi, rendah hati, terutama ketika berada di Asia, di mana kerendahan hati sangat dihargai.

Bisa jadi, Beckham juga tahu pepatah yang bunyinya "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Beckham paham bahwa di mana saja ia berada, selama ia mengikuti budaya dan kebiasaan lokal, maka ia akan baik-baik saja.

Barangkali, itu juga yang harus ditiru oleh Eropa Barat tentang Qatar. Qatar punya kebiasaan, adat istiadat, hukum, budaya yang jelas berbeda. Seperti yang dikatakan oleh pembesar Qatar ketika diminta untuk tetap mengizinkan agar bir boleh dijual bebas selama Piala Dunia: "Kami tidak bisa mengubah hukum Islam hanya untuk Piala Dunia selama satu bulan."


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun