Stampede
/stam'ped/
A sudden rapid movement or reaction of a mass of people in response to a particular circumstance or stimulus. (Google Dictionary)
Oktober 2022 sudah berlalu. Bolehlah berlega hati, tapi bulan itu pantang dilupakan. Entah kenapa, mungkin karena sudah diatur oleh Yang Kuasa, Oktober 2022 dibuka dan ditutup dengan keributan yang melibatkan massa dalam jumlah banyak dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Istilahnya adalah stampede kalau orang Inggris bilang. Artinya seperti yang dituliskan di pembuka artikel ini; pergerakan atau reaksi yang terjadi secara tiba-tiba oleh sekelompok massa sebagai respon dari keadaan atau stimulus tertentu.
Pada 1 Oktober 2022, penduduk Indonesia dibuat kaget dan berduka dengan jatuhnya korban kelar pertandingan Liga 1 Indonesia, antara Arema FC dengan Persebaya, di Stadion Kanjuruhan, Malang. Dan, tuan rumah kalah 2-3.
Seperti yang telah kita saksikan melalui berbagai rekaman, para suporter Arema langsung memasuki lapangan, disebut-sebut karena kekalahan itu. Tampaknya tidak terjadi apa-apa, hingga polisi memutuskan untuk mulai menembakkan gas air mata. Sejauh yang saya lihat dan baca, mulainya penembakan gas air mata memicu pergerakan massa yang tak beraturan. Semua panik.
Sungguh, saya tak tahu apa-apa tentang Stadion Kanjuruhan. Belum pernah menyambangi atau nonton sepak bola di sana, jadi saya tak bisa membayangkan seperti apa lay-out stadion, berapa pintu yang ada (ternyata ada 14 pintu, saya ketahui beberapa hari kemudian).
Yang saya tahu, sepak bola adalah family affair. Acara keluarga, menggembirakan. Lihat saja penonton yang hadir. Remaja, anak-anak, bapak-ibu datang bersama anaknya. Semua hadir untuk menyaksikan klub kesayangan mereka berlaga.
Mereka datang ke Stadion Kanjuruhan, yang jaraknya dari pusat kota Malang sekitar 23 km, 45 menit naik sepeda motor, sekitar satu jam jika naik kendaraan roda empat. Semua berduyun datang ke sana.
Tapi, mereka tidak pernah mereka bermimpi untuk ditembaki gas air mata dan lantas tewas terinjak-injak ketika mencari jalan keluar. Tidak pernah bermimpi untuk kehilangan anggota keluarga karena kejadian itu.
Dari artikel Kompas.com, yang isinya adalah berita foto satu bulan setelah tragedi, Kanjuruhan rusak. Semua masih seperti ketika rusuh massa kelar. Stadion akan direnovasi total tahun depan, kalau menurut berita itu.
Sudah pasti, Tragedi Kanjuruhan langsung masuk dalam daftar tragedi sepak bola dengan jumlah korban tewas lebih dari 100 orang. Hingga tulisan ini kelar ditulis, korban tewas mencapai 135 orang.
Tak ayal, berita buruk ini langsung menjadi santapan media asing. Keajaiban internet membuat berita ini menyebar dengan kecepatan cahaya.
Saya ingat pagi-pagi nonton berita di saluran BBC News. Si penyiar sedang membahas Kanjuruhan dan saya ikuti dengan tertib. Penyiar BBC sedang mengadakan bincang jarak jauh dengan jurnalis ABC News di Australia. Si jurnalis Australia ini rupanya pernah membuat feature tentang Arema FC kalau tidak salah, atau derbi Jawa Timur antara Arema FC dengan Persebaya. Salah satu dari itu. Makanya dia paham dan dijadikan narasumber oleh BBC.
Penyiar BBC memulai dengan kata-kata: ..."perseteruan dua kelompok suporter...", yang langsung dipotong oleh jurnalis Aussie: "Hanya ada satu kelompok suporter. Pertandingan antara Arema FC dan Persebaya tidak boleh dihadiri oleh dua kelompok suporter. Hanya satu di setiap stadion kandang, yaitu suporter tuan rumah."
Penyiar BBC rada bingung, sehingga dia bertanya: "Apakah itu karena pengaruh (minuman) alkohol?"
Jurnalis Australia mengatakan tidak, sebab di Indonesia, minuman beralkohol tidak dijual bebas. Nah, tambah bingung deh si orang BBC.
Memang membingungkan. Tidak ada seteru antarsuporter, tidak ada suporter yang mabuk alkohol, namun polisi harus membubarkan mereka dengan gas air mata.
Pertandingan itu dilangsungkan pada malam hari, sekitar pukul 8 malam. Saya cuma berpikir buat apa pertandingan sepak bola di Indonesia digelar malam hari? Polisi menyatakan sudah menghimbau agar pertandingan digelar pada sore hari saja, pukul 15.00 adalah waktu yang ideal. Saya pikir seharusnya jangan sekedar meghimbau, tapi paksakan.
Ketika digelar pada siang atau sore hari, setidaknya ada satu sektor yang bisa dihemat; listrik. Pada malam hari, mau tak mau, semua lampu harus dinyalakan, sehingga para fotografer tak kekurangan cahaya untuk mengabadikan pertandingan. Siaran sepak bola di televisi pun jadi lebih cerah, tak nampak kumuh atau seperti gambar dengan resolusi kurang.
Terus terang, saya selalu mengacu pada Premier League di Inggris. Liga itu adalah contoh yang paling ideal. Premier League, sebagai penyelenggara, selalu berkoordinasi dengan kepolisian setempat. Jika polisi mengatakan pertandingan digelar lain hari atau pada hari yang sama namun pada waktu yang berbeda, karena bersamaan dengan acara lain di kota tertentu yang juga melibatkan massa dalam jumlah besar, maka Premier League akan menuruti. Keamanan adalah segalanya. Keselamatan nyawa puluhan ribu orang ada di tangan klub, penyelenggara pertandingan, dan pihak keamanan.
Saya baca lagi PSSI baru akan mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) pada Maret 2023. Menurut berita, mereka sudah berkirim surat ke FIFA untuk rencana itu. Mengapa lama sekali harus mengadakan KLB? Ini darurat, gelarlah KLB secepatnya.
Beberapa pekan setelah Tragedi Kanjuruhan, Presiden FIFA, Gianni Infantino, datang ke Indonesia. Wajahnya cerah ceria. Demikian pula dengan wajah Ketua Umum PSSI -- no need to mention his name. Mereka lantas terlibat dalam sebuah pertandingan sepak bola, entah apa maksudnya. Tidak ada empati.
Belum ada lanjutan lagi yang signifikan untuk Tragedi Kanjuruhan.
Kita fast forward ke akhir Oktober, tepatnya pada 29 dan 30 Oktober. Pada dua hari itu terjadi dua stampede. Korbannya juga lebih dari 100 orang, yang pertama terjadi di Itaewon, Korea Selatan, lainnya di Morbi, Gujarat, India.
Distrik Itaewon di Seoul adalah lokasi yang terkenal dengan hiburan malam. Segala klub malam, restoran, bar ada di sana. Nah, pada 29 Oktober lalu, sekitar 100 ribu orang ramai-ramai datang ke Itaewon. Lokasi yang mereka datangi adalah gang-gang kecil, yang kalau saya pikir sama sekali tidak ada gemerlapnya. Ceritanya mereka ingin ikutan merayakan Halloween. Karena dua tahun sebelumnya, distrik itu adem-ayem gara-gara pandemi Covid-19, nah para penggemar Halloween di Korea ingin merasakan untuk pertama kalinya bagaimana perayaan itu di Itaewon setelah dua tahun hanya di rumah.
Menurut saya tidak ada gunanya merayakan Halloween. Bukan budaya orang Asia. Tidak perlulah kita memberi satu hari khusus untuk para hantu bebas berlarian di sekitar kita. Sudah setiap hari mereka ada, bukan begitu?
Semakin malam, Itaewon semakin ramai sampai suatu titik di mana kerusuhan mulai terjadi. Mereka yang datang ke sana kesulitan untuk bernapas karena terjepit puluhan orang lainnya. Alhasil, korban tewas berjatuhan, sudah mencapai 156 orang dari yang saya baca. Mungkin akan bertambah lagi.
Bayangkan, 100 ribu orang, bertumpuk di jalan-jalan yang sempit. Jalan keluar entah menghilang ke mana, petunjuk arah jadi tak berguna. Jumlah 100 ribu orang itu jauh lebih banyak dibanding 40 ribuan suporter Arema FC yang datang ke Kanjuruhan pada 1 Oktober.
Belum ada kejelasan apa penyebab Itaewon Stampede itu. Menurut Sportskeeda, ada teori yang menyebutkan seorang selebriti Korea datang ke sana dan semua jadi ribut ingin bertemu, tapi teori itu lantas dibantah. Semua yakin bahwa penyebabnya adalah crowd control yang buruk dari kepolisian setempat.
Keesokan hari, di negara Asia lainnya, India, terjadi targedi robohnya jembatan gantung di Gujarat. Pada 30 Oktober, hari terakhir Festival Diwali, sekitar 500 orang mendatangi Sungai Machchhu di Morbi, Gujarat. Menurut para saksi, ada sekitar 200 orang berdiri di jembatan, yang baru saja diresmikan beberapa hari sebelumnya setelah menjalani renovasi.
Jembatan gantung berusia satu abad itu lantas roboh, kalau saya pikir sih karena tidak kuat untuk mengemban berat badan 200 orang sekaligus, dan pasti ada sebab lain yang lebih ilmiah.
Menurut berita di CNN, 1 November kemarin, ada 135 korban tewas dengan 30 korban di antaranya adalah anak-anak. Belum jelas berapa orang yang hilang dan juga yang luka-luka.
Entahlah mengapa Oktober 2022 menjadi bulan yang tak beruntung. Sedihnya, itu adalah bulan kelahiran saya. Semoga kelahiran saya bukanlah sebuah tragedi, ya.
Dan, semoga tak ada lagi korban lain yang harus berjatuhan gara-gara kelalaian pihak lain. Saya tidak mau pada Oktober 2023 terjadi lagi stampede di mana-mana. Oktober 2023 akan menjadi bulan teraman. Aamiin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H