Selama dua tahun belajar di rumah imbas dari lockdown akibat pandemi Covid-19, mau tak mau anak-anak harus duduk lama di depan monitor komputer. Screen time menjadi berlipat ganda lamanya dibanding saat tidak ada pandemi.
Dikatakan terlalu lama screen time membuat anak-anak, terutama anak perempuan, mengalami pubertas lebih cepat. Bagaimana caranya? Penjelasannya ada di bawah ini.
Jumlah anak perempuan yang mengalami pubertas dini atau lebih cepat bertambah banyak dari tahun ke tahun, di seluruh dunia.Â
Salah satu data, di Amerika Serikat ada sekitar 10 persen anak perempuan kulit putih dan 23 persen anak perempuan berkulit hitam yang mengalami pubertas pada usia 7 tahun. Pandemi Covid-19 memperburuk tren tersebut.Â
Semakin banyak dokter yang melaporkan anak perempuan yang dewasa lebih cepat semasa pandemi.
Wajar saja jika virus Covid-19 menjadi terdakwa pertama penyebab pubertas dini itu. Namun, setelah melakukan pengamatan, ternyata banyak anak perempuan yang tetap saja mengalami pubertas dini, meski tak tertular Covid.Â
Lagipula, pada awal pandemi, justru anak-anak relatif aman dari tertular virus.
Penyebab berikutnya, yang dicurigai, adalah bertambahnya berat badan, sebuah risiko yang wajar terjadi ketika anak perempuan dan anak laki-laki mengalami akil balik dini. Itu disebabkan dengan mereka terlalu sering duduk selama lockdown.Â
Namun, menurut ZME Science, anak-anak tidak mengalami penambahan berat badan selama pandemi, meski mereka menjalani gaya hidup sedentary.
Lalu, apa penyebabnya timbulnya akil balik massal selama pandemi? Para peneliti di Turki mengusulkan sebuah mekanisme untuk menjelaskannya.Â
Mereka yakin bahwa meningkatnya screen time -- atau semakin banyak terpapar blue light -- mungkin menjadi pemicu ketidakseimbangan hormon pada anak-anak perempuan, sehingga menyebabkan pubertas yang jauh lebih cepat.
Pubertas merupakan periode paling hiruk-pikuk pada hidup seseorang, masa mereka menjadi dewasa secara seksual dilihat dari sudut pandang fisik.Â
Secara normal, pubertas pada anak perempuan terjadi pada usia 10 hingga 14 tahun dan 12 hingga 16 tahun pada anak laki-laki.
Selama proses itu, anak perempuan dan laki-laki mengalami perubahan pada badan mereka, yang pengaruhnya berbeda pada tiap orang. Anak laki-laki akan mengalami pembesaran alat vital, sementara anak perempuan akan mulai tumbuh buah dada dan mulai mengalami menstruasi.
Pubertas yang terjadi pada usia normal saja sudah membuat si anak stres, apalagi ketika terjadi pada usia yang jauh lebih muda.
Pubertas terhitung dini jika terjadi pada anak perempuan berusia 8 tahun ke bawah dan pada anak laki-laki pada usia 9 tahun ke bawah.Â
Pubertas dini bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk sindrom yang berkaitan dengan genetika, masalah di syaraf pusat, atau bahkan karena tumor di indung telur, kelenjar adrenalin, atau otak.
Pubertas dini terjadi pada 1 dari 5.000 dan 1 dari 10.000 anak-anak, dengan anak perempuan mengalami lebih banyak dibanding anak laki-laki dengan rasio 10 berbanding satu.
Selama pandemi, para peneliti melaporkan peningkatan pubertas dini di berbagai negara, termasuk AS, India, Italia, dan Turki.Â
Sebagai contoh, lima klinik endokrinologi anak-anak di Italia melaporkan adanya 300 anak perempuan dengan pubertas dini antara Maret dan September 2020. Pada periode yang sama pada 2019, kasusnya hanya 140.
Lain lagi di Turki. Sebuah klinik endokrinologi anak-anak melaporkan 58 kasus hanya pada 2020, itu jauh lebih banyak dibandingkan 66 kasus yang terjadi selama 2017 hingga 2019.
Banyak ahli endokrinologi (ilmu yang berkaitan dengan hormon) berpikir bahwa stres yang disebabkan karena lockdown menjadi penyebab pubertas dini pada anak-anak perempuan selama pandemi.
Namun, pada sebuah penelitian terbaru menemukan bukti bahwa meningkatnya screen time juga menjadi kontributor yang signifikan.Â
Untuk membuktikannya, pada ahli endokrin di Universitas Gazi dan Universitas Ankara City di Turki melakukan penelitian terhadap 18 ekor tikus betina yang belum dewasa. Mereka disinari dengan blue light dan sinar alami (putih).
Blue light berasal dari layar LED dari telepon genggam, tablet, dan komputer. Efek dari blue light itu diperiksa tiap enam dan 12 jam.
Tikus yang disinari blue light menunjukkan tanda-tanda pubertas lebih awal dibanding yang disinari sinar biasa. Semakin lama durasi penyinaran, semakin cepat pubertas terjadi.
Tikus dengan blue light memiliki level melatonin yang rendah. Melatonin adalah hormon penting untuk mengatur tidur. Tikus-tikus itu juga mengalami perubahan pada indung telur.
Dari penelitian itu ditemukan bahwa blue light bisa mengubah level melatonin, juga bisa mengubah level hormon reproduksi dan menyebabkan pubertas lebih awal.
Sebagai tambahan, blue light menghambat produksi melatonin, sehingga kita menjadi sulit tidur setelah berjam-jam bekerja di depan monitor komputer atau layar hape.
Meski masih harus dilakukan peneltian lanjutan, para ahli tersebut menyarankan agar penggunaan gawai-gawai yang mengeluarkan blue light sebaiknya dikurangi pada anak-anak yang belum mengalami pubertas, terutama pada sore hari, saat efek paparan paling banyak mengubah level hormon.
Sekarang, pandemi hampir berlalu. Sekolah-sekolah telah menerima kembali murid-muridnya. Sekolah dan belajar melalui komputer mulai jarang dilakukan, atau kembali ke frekuensi sebelum pandemi.Â
Semoga saja jumlah anak perempuan yang mengalami pubertas lebih awal juga akan berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H