Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menjadi Paranoid Kelar Pandemi Covid-19 atau Hanya Waspada?

16 September 2022   12:30 Diperbarui: 19 September 2022   13:31 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selama pandemi dan setelahnya, masker tetap dipakai. (Sumber: Engin Akyurt/Unsplash)

Ada berita dari Organisasi Kesehatan Dunia alias WHO bahwa akhir dari pandemi Covid-19 telah di depan mata. Sejenak lagi pandemi akan berakhir. Benarkah?

WHO mengeluarkan pernyataan itu dengan dasar bahwa jumlah kematian akibat Covid-19 saat ini mencapai angka paling rendah sejak Maret 2020. Paling rendah, tapi tetap saja ada korban.

“Kami tidak pernah berada di posisi paling baik menjelang akhir pandemi. Memang belum akan berakhir, namun berhentinya pandemi sudah di depan mata,” kata Direktur Jendreal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Rabu, 14 September 2022, melalui situs WebMD.

Apakah memang benar pandemi Covid-19 akan segera berakhir? Begitu saja? Apapun kata WHO, saya yakin ratusan juta bahkan miliaran penduduk Bumi sudah berubah sejak pandemi dimulai.

Saya misalnya. Sebelum ada yang namanya Covid-19, saya selalu takjub dengan mereka yang rajin pakai masker, menutupi mulut dan hidung mereka. 

Setiap hari. Setiap saat, terutama di kendaraan umum. Tak peduli cuaca sedang panas. Ketika itu, saya selalu berpikir apakah mereka bisa bernapas?

Lalu, Covid-19 tiba di Indonesia pada Maret 2020. Memakai masker menjadi wajib. Bahkan, sampai-sampai ada ‘hukuman’ jika tidak memakai masker saat keluar rumah. 

Saya juga harus membiasakan diri memakai masker. Pengap untuk pertama kali, namun lama kelamaan, masker menjadi barang wajib dipakai, tak terlepaskan, macam membawa hape saat keluar rumah.

Dua tahun berlalu dan saya merasakan perubahan yang lumayan drastis. Kini, banyak orang yang dengan cueknya berjalan-jalan tanpa memakai masker. Bahkan di tengah kerumunan! Asyik berwisata, berkerumun di tempat-tempat pariwisata.

Sekali lagi, saya menjadi takjub. Namun, takjubnya sudah berbeda dibanding dua tahun lalu. Kali ini saya takjub karena ‘keberanian’ mereka untuk tidak memakai masker ketika berada di luar rumah, di tengah kerumunan, saat kumpul-kumpul. yang namanya social distancing sudah dilupakan.

Rasanya menjadi paranoid untuk keluar rumah. Kalau harus belanja, misalnya ke supermarket, masker tak lupa. Lalu, pilih supermarket yang paling dekat lokasinya dengan rumah. Ada satu yang dekat sekali, cukup naik bajaj tidak lebih dari 5 menit.

Belanja pun secepat kilat., Tak ada lagi yang namanya window shopping. Belanja sesuai dengan catatan. Lalu pulang. Tiba di rumah, saya langsung mandi dan keramas. Rasanya seperti segala virus dan kuman dan bakteri melekat di tubuh.

Terakhir kali saya belanja di supermarket sudah berbulan-bulan lalu. Belum ada lagi niatan untuk pergi ke supermarket. Belanja melalui marketplace saja. 

Bahkan, saya tak lagi mendatangi bank untuk ambil uang pensiun mama tiap bulan. Verifikasi cukup dilakukan melakukan video call antara mama di rumah dengan pihak bank. Beres!

Ingat dengan orang kaya raya asal Amerika bernama Howard Hughes? Dia sangat takut kuman. Sedikit-sedikit cuci tangan. 

Aktor Leonardo DiCaprio menghidupkan Howard Hughes melalui film “The Aviator” yang dirilis pada 2004. Saya tidak bisa membayangkan andai Hughes hidup pada masa pandemi Covid-19.

Nah, sekarang pun saya mirip Hughes, walau masih beda sekali, karena saya tak sekaya Hughes. Tapi, yang pasti saya juga sedikit-sedikit cuci tangan. Setelah menyentuh gagang pintu di rumah, cuci tangan. 

Keluar rumah sedikit, langsung cuci tangan saat masuk kembali. Apalagi kalau harus menerima paket. Sebisa mungkin paket itu segera dibuka, dibereskan isinya, dan cuci tangan.

Sebelum memberi makan dan mengurus kucing, saya cuci tangan. Kelar urusan itu, saya cuci tangan lagi. Bahkan di tengah-tengah mengurus kucing, saya bisa cuci tangan dua atau tiga kali.

Saking seringnya cuci tangan, sampai-sampai kulit tangan saya sangat kering, gara-gara kulit selalu digerus dengan sabun. Yang namanya hand cream tak pernah jauh-jauh. Setiap kali, tangan harus dilumuri krim itu dalam jumlah banyak untuk menghindari kekeringan.

Saya tidak bisa membayangkan harus nonton sepak bola di stadion saat ini. Saya kagum dengan para penonton sepak bola, termasuk yang di Eropa sana, dengan setia mendukung tim kesayangan langsung di stadion. 

Entah apa yang akan saya kenakan kalau harus datang dan nonton di stadion. Mungkin saya akan memakai hazardous materials suit alias baju hazmat. Tak peduli apa kata orang.

Rasanya, saya tak akan bisa kembali menjadi Dian pra-Covid-19. Dian saat ini sudah menjadi Dian yang takut keluar rumah. Untung saja saya tak lagi bekerja, jadi memang tak ada alasan untuk keluar rumah. Freelancing cukup dikerjakan dari rumah.

Tapi, apakah saya memang paranoid? Atau hanya bersikap waspada atau cautious? Semata hanya menghindari yang namanya virus, tak hanya virus Covid-19. 

Mungkin saja, tapi yang pasti perasaan takut tetap ada, meski tak sampai jadi schizofrenia. Soalnya saya tidak mengalami halusinasi dan delusional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun