Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Bus PPD 213, Bus Kota Zadul yang Ngangeni

24 Mei 2022   17:58 Diperbarui: 25 Mei 2022   05:00 5548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus PPD RMB dengan AC, sempat jadi primadona di Jakarta tahun 90-an (Sumber: pricga.com via gridoto.com)

Semenjak saya tak lagi bekerja, di rumah saja, ada satu aktivitas yang tidak lagi saya lakukan, yaitu naik bus. Bukan bus masa kini ya alias TransJakarta, melainkan bus kota zadul (zaman dulu). Bus kota di Jakarta, pra-TransJakarta, sungguh eksotis. Jauh dari kata mewah, tapi ngangeni.

Saya mulai naik bus ketika kuliah. Bus kota adalah moda transportasi yang saya gunakan ketika berkuliah di Depok, selain kereta rel listrik atau KRL. Belum ada kereta commuter pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Untuk ke Depok, ketika itu, jika ingin naik bus, maka saya akan mengawalinya di depan Stasiun Gambir. Naik bus PPD bernomor 806. Bus itu berhenti di Pasar Minggu dan saya akan menyambungnya dengan angkot yang namanya Miniarta menuju Depok.

Ketika bus ke Depok mulai banyak, ada bus PPD Patas AC bernomor 43. Bus itu bertrayek Pasar Baru-Depok. Tapi, adanya bus itu ketika saya sudah mulai jarang ke Depok, karena sudah memasuki tahun-tahun akhir kuliah. Tapi, tak apa. Saya naik dari Pasar Baru, turun di Pondok Cina, letaknya setelah Stasiun UI. Dari Pondok Cina, saya tinggal berjalan kaki menuju fakultas saya, FMIPA.

Semakin kemari, semakin banyak bus yang menuju Depok. Trayeknya pun sangat beragam. Pendeknya Depok digempur oleh berbagai jenis bus dari berbagai PO, dari berbagai jurusan. Tapi, saya tidak lagi menjadi pelanggan, karena saya sudah lulus.

Bus 213 yang sangat kalem ketika penuh dengan penumpang. (Sumber: HalteBusdotcom)
Bus 213 yang sangat kalem ketika penuh dengan penumpang. (Sumber: HalteBusdotcom)

Ketika bekerja, trayek bus saya sudah berubah. Karena kantor saya ada di Palmerah, maka bus yang paling dekat bisa dari Slipi, bisa juga dari Jalan Tentara Pelajar alias Arteri yang lewat di depan kantor Kompas Gramedia.

Dari sekian banyak bus yang saya naiki, yang paling berkesan adalah bus PPD bernomor 213, Kampung Melayu-Grogol. Bus itu benar-benar tumpangan sejuta umat. Supir dan kernetnya paling bahagia kalau bus yang dikawalnya dipenuhi dengan puluhan kepala. Bahkan, sampai tergantung di pintu.

Saya hanya naik bus itu untuk pulang, terutama ketika sedang bokek, tidak punya uang buat naik taksi. Haha.

Bus berwarna putih dengan garis-garis merah di sana-sini bukan main larisnya. Biasanya kalau pulang malam hari, sekitar pukul 8 malam, saya menunggu di Slipi. Biasanya ada bus 213 yang kosong sedang ngetem atau tunggu saja sampai ada yang kosong. Saya tidak mau naik bus yang penuh, harus berdiri. Paling anti.

Suatu ketika, saya menunggu bus 213 kosong. Eh, tidak perlu menunggu lama, datanglah busnya. Saya selalu duduk paling depan, jika memungkinkan. Saat itu, saya kebetulan dapat di baris paling depan.

Berangkatlah bus. Isinya hanya sedikit. Paling hanya 10 penumpang. Tiba-tiba, kernet bus ribut bukan main, ternyata di depan juga ada 213 lain yang kosong. Lalu, di belakang kami juga ada bus 213 ketiga yang kosong juga.

Mulailah si supir bus tancap gas. Mereka ingin mengejar bus yang di depan, sekaligus menghindari bus di belakang. Bisa dibayangkan, ketika masuk ke Jalan Sudirman, jadi riuh banget.

Ketika itu, Jalan Sudirman masih terdiri dari empat lajur. Dua lajur ke arah selatan, dua lajur ke arah pusat. Saya tentu saja berada di jalur lambat menuju ke pusat.

Tahu tidak? Tiga bus itu lantas balapan! Malam hari, sekitar pukul 8.30, di mana kendaraan lain juga masih ramai, dan di jalur lambat! Bus saya ada di tengah-tengah, namun akhirnya bisa membalap bus yang paling depan, yang ternyata jaraknya tidak terlalu jauh.

Aduh, itu ketika balapan. Benar-benar bukan buat orang dengan jantung lemah, ya. Bus besar seperti itu, ngebut, pada suatu titik, dua bus berada dalam posisi berdampingan! Di jalur lambat! Masya Allah! Ngeri sekali.

Saya duduk di bangku paling depan kesulitan untuk mencari pegangan. Saya ngeri saja kalau tiba-tiba saya terlempar keluar dari pintu, saking kencangnya itu bus.

Oh iya, saya lupa tulis di atas. Saat itu, TransJakarta sudah ada, namun masih sangat awal. Pembatas antara jalur TransJakarta dengan jalan umum tidak tinggi, pendek saja. Bukan halangan berarti untuk bus 213.

Jadi, tanpa saya sadari, tiba-tiba bus yang saya tumpangi itu sudah berada di jalur cepat, lalu masuk jalur TransJakarta, dan berhenti di belakang bus TransJakarta yang sedang menurunkan dan menaikkan penumpang di halte. Apa yang lantas dilakukan oleh supir 213? Dia mengklakson bus TJ di depannya agar segera berjalan. Supir gila!

Pada saat bersamaan, si kernet mengatakan kalau bus pertama sudah bablas, bus ketiga sudah lewat juga, sementara bus yang saya tumpangi terhenti di jalur TransJakarta. Hahahaha

Ketika akhirnya bisa kembali berjalan, supir langsung membawa bus keluar dari jalur TransJakarta dan kembali ke jalur lambat.

Sebenarnya bisa saja si supir langsung ke luar dari jalur TransJakarta ketika berada di belakangnya, andai jalur cepat tidak dipenuhi dengan kendaraan lain.

Seperti yang saya duga, bus itu lantas berhenti di depan Plaza Indonesia dan mengoper penumpangnya yang hanya 10 ekor ke bus 213 lain. Rupanya dua bus 213 yang diajak berbalap tadi sudah raib entah ke mana.

Sudah ada bus 213 lain yang ngetem di depan Plaza Indonesia. Penuh penumpang. Kami yang diturunkan hanya misuh-misuh. Sudah diajak sport jantung, eh ending-nya hanya untuk dipindahkan ke bus lain. Supir dan kernet cuek bebek. Mereka lantas melingkari Air Mancur HI, kembali ke arah Grogol. Halah!

Biasanya, dari Plaza Indonesia, bus 213 akan masuk ke Jalan Imam Bonjol, kemudian saya akan turun di depan Rumah Sakit Sint Carolus di Salemba, lalu melanjutkan perjalanan dengan bajaj menuju rumah. Tapi, malam itu, sudah badan panas dingin, kaki gemetar, saya tidak mau lagi naik bus. Saya menyetop taksi. Bokek tak apa, bisa bayar ongkosnya di rumah.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika bus balapan tadi mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Wuh, pasti bakal ramai.

Kini, bus 213 tinggal kenangan. Bus itu dan semua trayek lainnya sudah dilebur ke dalam TransJakarta dan semua bus yang berhubungan. Tidak ada lagi balapan bus-bus buluk di jalan protokol. Semuanya aman.

Sekarang, saya kangen naik bus kota zaman dulu. Bus yang pernah menjadi andalan untuk nyaris semua penduduk Jakarta. Tinggal kenangan semuanya.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun