Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Obat Andalan Penghilang Pegal

15 Mei 2022   14:46 Diperbarui: 15 Mei 2022   15:07 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di rumah kami, yang namanya obat bukanlah hal yang asing. Kami punya dua kategori obat-obatan yang terdapat di rumah: Dengan resep dokter dan tanpa resep dokter, termasuk suplemen atau multivitamin.

Obat-obat dengan resep dokter di rumah kami bejibun. Sebagian besar adalah yang dikonsumsi mama, karena beliau adalah penderita stroke. Mama terkena serangan stroke dua kali, yang pertama pada 2001 dan yang kedua pada 2018.

Sejak 2001, praktis mama selalu minum obat. Semuanya berdasar resep dari dokter. Yang paling saya ingat adalah obat penurun tekanan darah. Lalu, ketika mama mengalami serangan lagi pada 2018, semua obat edisi 2001 diganti semuanya.

Dokter syaraf, yang merawat mama, meng-update dan meng-upgrade obat-obat yang dikonsumsi mama. Obat-obatan yang lama tak ada lagi. Semuanya diganti. Sekarang, mama harus mengonsumsi dua jenis obat penurun tekanan darah, satu kali pada pagi dan yang lain pada malam hari.

Lalu, ada vitamin B12, yang rupanya harus pakai resep dokter juga untuk membelinya. Lalu, ada obat anti kejang. Harus tiga kali dikonsumsi dalam satu hari. Ada obat untuk memori yang harganya bukan main mahalnya.

Setiap tiga bulan, mama konsultasi ke dokter, sekaligus meminta resep yang baru, meski isinya sama saja. Karena menebus obat di rumah sakit bukan main mahalnya, maka kami membeli obat melalui e-commerce. Saya cari apotik online yang kompeten dan bukan abal-abal. Banyak apotik yang sudah punya lapak digital, bahkan apotik langganan.

Saya tinggal mengunggah resep, yang telah di-scan, ke e-commerce, sehingga pembelian tetap dengan resep dokter. Harga obat-obatnya bisa setengahnya, kadang lebih murah.

Lalu, saya juga pengguna obat. Maklumlah usia sudah melebihi setengah abad. Obat-obatan saya adalah penurun tekanan darah, hanya satu macam, tidak dua seperti mama. Ada obat anti kolesterol, anti asam urat, dan pengencer darah. Ternyata saya penyakitan yak....hahahaha. Semua obat itu tentu saja berasal dari dokter internis.

Adik saya juga punya sederet obat sendiri. Kalau dia lebih berhubungan dengan GERD. Jadi, pasokan obatnya berbeda. Saya tidak bisa menjelaskannya di sini, karena kurang paham.

Meski kami punya obat yang berbeda-beda, saya dan kedua adik saya punya satu obat yang sama, yaitu, saya sebut saja ya mereknya, Neuralgin. Kemasannya berwarna perak, lembaran, satu lembar berisi 10 tablet. Tentu saja, ini tanpa resep dokter, walau kami sadar bahwa obat itu adalah obat penenang.

Untuk kami, obat itu adalah obat anti pegal yang top bangget! Kami tidak meminumnya setiap hari, tentu saja. Hanya jika badan ini sudah pegal bukan main. Ketimbang mencari berbagai obat lain, lebih baik mengonsumsi obat itu saja.

Kami tahu obat itu pertama kali ketika kami tinggal di Jayapura pada 1982-1986. Ketika itu kami masih kecil-kecil tentu saja. Adik saya yang termuda baru berusia tujuh bulan ketika pindah ke sana.

Namun, kami semua lantas terkena malaria. Bahkan adik saya yang paling kecil itu sempat dirawat di rumah sakit gara-gara malaria.

Ada satu dokter di Jayapura yang merupakan rujukan untuk semua penderita malaria. Pak Dokter memberikan tiga obat untuk malaria. Yang pertama adalah Neuralgin. Gunanya untuk menghilangkan linu yang melanda setiap kali malaria menyerang. Semua persendian akan sakit bukan main jika malaria kumat. Neuralgin bertugas untuk menghalaunya.

Obat yang kedua adalah Fansidar. Wuh..obat ini sepertinya tidak berguna. Hanya membuat saya mual dan lantas muntah setiap kali mengonsumsinya. Oleh sebab itu, saya lebih sering mengabaikannya ketika malaria berkunjung.

Obat yang ketiga adalah Malarex, mungkin obat itu hanya ada di Papua. Sebenarnya itu adalah kina, tabletnya berbentuk bulat, berwarna hijau. Rasanya? Amit-amit pahitnya. Jangan sampai obat itu tertinggal terlalu lama di lidah. Harus segera digelontor dengan air putih.

Fansidar dan Malarex sudah lama kami lupakan, namun tidak dengan Neuralgin. Obat itu sangat berguna ketika rumah kami dilanda banjir. Ketika membersihkan rumah, badan tak ketulungan pegalnya. Itulah saatnya Neuralgin beraksi. Satu jam setelah minum obat itu, badan lalu terasa segar bugar dan kembali melanjutkan bersih-bersih rumah.

Mama tentu saja tidak mengonsumsi obat itu setelah terkena stroke. Alhamdulillah, dia juga tak pernah kumat malarianya. Jadi tak ada alasan untuk minum Neuralgin. Selain itu, semua obat yang dikonsumsi mama saya awasi dengan ketat.

Kami juga selalu sedia multivitamin, bahkan sebelum Covid-19 melanda. Apalagi sekarang, tak pernah lupa untuk memeriksa persediaan multivitamin. Kami mencari multivitamin dengan kadar zinc yang lumayan tinggi, walau tak terlalu tinggi. Karena, dari yang saya baca, zinc efektif dalam melawan virus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun