Keluarga kami pernah tinggal di Jayapura, Papua mulai pertengahan 1982 hingga pertengahan 1986. Saya ingat kami berangkat ke Jayapura pada awal Juli 1982. Saat itu, Piala Dunia 1982 sedang digelar di Spanyol, yang dimulai pada 13 Juni dan kelar pada 11 Juli 1982.
Kami berangkat pada awal Juli, jauh sebelum final Piala Dunia 1982 berlangsung. Piala Dunia tahun itu adalah pertama kalinya saya paham sepak bola. Ketika itu saya baru lulus dari sekolah dasar.
Saya ingat kami berada di Bandara Kemayoran pukul 2 pagi, pesawat berangkat tiga jam kemudian. Dua kali transit, pertama di Makassar dan kemudian di Biak, sampailah kami di Bandara Sentani pada pukul 5 sore.
Saat itu, almarhum bapak ditugaskan di Jayapura. Saya belum berusia 13 tahun. Adik saya perempuan masih duduk di kelas 3 sekolah dasar. Sekarang, dia Kompasianer juga. Mungkin ada yang tahu, namanya Shinta Harini.
Adik saya paling kecil, laki-laki, baru berusia 7 bulan ketika boyongan ke Jayapura. Bapak sudah tinggal lebih dulu tinggal di Jayapura selama satu tahun, mempersiapkan isi rumah, mendaftar sekolah, dan sebagainya.
Saat itu bulan Ramadan. Pada tahun itu, 1 Syawal 1402 Hijriah jatuh pada 22 Juli 1982. Dan, bapak saya memutuskan bahwa itu saat yang tepat untuk melakukan open house, sekaligus memperkenalkan anggota keluarga kepada rekan-rekan kantor dan kolega lainnya.
Kami tinggal di sebuah area bernama Dok V Atas, di Jalan Sukarelawati. Sekarang, nama jalan itu sudah berubah menjadi Jalan Mapia. Di jalan itu, terletak rumah dinas yang kami tinggali. Rumah dinas itu dibuat khusus untuk jabatan yang dipegang bapak saat itu, selalu sama jabatannya sejak rumah itu dibangun pada zaman Belanda.
Anyway, pada Hari Raya Idul Fitri, yang pertama untuk kami di Papua (ketika itu Irian Jaya), kami salat Ied di lapangan Stadion Mandala. Letaknya dekat dari rumah. Sudah pasti, Stadion Mandala saat itu belum seperti saat ini.
Kelar salat, mulailah berdatangan segala jenis makanan khas Lebaran, yang dipesan dari salah satu rekan kantor bapak. Istri rekan kantor itu adalah juru masak. Ketupat, opor ayam, sambal goreng, entah apa lagi. Oh iya, ada telur pindang juga, yang merupakan favorit saya.
Terus terang, saya sama sekali tidak tahu bahwa bapak dan mama sudah merencanakan ada open house hari itu. Sebab, rumah sama sekali tidak diatur ulang mebel-mebelnya. Seperti sedia kala.
Ya sudah, sekira pukul 10 pagi, mulailah tamu berdatangan. Beberapa keluarga sekaligus. Saya menjadi anak penurut hari itu. Berdiri dengan manis, bersalaman dengan semua tamu. Hahaha
Karena rumah dinas itu kecil ukurannya, maka para tamu ya silakan saja mencari tempat duduk sendiri untuk menyantap hidangan Lebaran. Bahkan ada yang menikmati hidangan di teras dan di halaman depan rumah yang lumayan luas.
Seingat saya, yang namanya hidangan itu tak berhenti mengalir dari dapur. Jangan tanya, betapa sibuknya yang bertugas untuk memotong ketupat. Lalu juga yang mencuci piring. Pokoknya harus dipastikan bahwa semua tamu tak akan kehabisan makanan dan piring bersih beserta sendoknya. Kalau telur pindang, silakan kupas sendiri.
Hari itu benar-benar sibuk. Semua rakyat dikerahkan untuk memastikan kelancaran open house. Di belakang rumah kami, ada satu rumah yang ditempati oleh sebuah keluarga. Rumah mereka dan kami punya alamat yang sama. Mereka juga diminta untuk membantu.
Tamu berdatangan tak henti. Mirip dengan angkot yang penumpangnya naik dan turun. Aplusannya cepat. Terus seperti itu. Hingga mendekati Maghrib, belum ada tanda tamu akan berkurang.
Adik saya yang paling kecil sudah tidur paling dulu. Dia masih bayi. Saya masih bertahan. Shinta? Entahlah apa yang dia lakukan hari itu.
Sampai tengah malam, masih ada saja tamu yang datang. Tapi, mereka tak lagi kebagian hidangan Lebaran. Tinggal sisa-sisa, tak pantas untuk dihidangkan. Persediaan yang masih banyak tinggal telur pindang.
Tamu paling akhir datang sekitar pukul 1 dini hari dan pulang kira-kira satu jam kemudian. Kami semua sudah lelah. Saya bisa melek hingga tamu terakhir pulang.
Itu adalah open house, juga housewarming, pertama untuk keluarga kami. Namun, open house yang kami gelar ketika sudah kembali berada di Jakarta tak lagi seheboh itu.
Pada hari kedua Lebaran, kami semua bangun telat. Tepar semua. Tapi, mama harus mengurus adik bayi, jadi dia sudah bangun paling pagi seperti biasa.
Hari kedua Lebaran itu, kami menutup pintu rumah. Namun, tak bisa menutup pagar, sebab rumah kami tak punya pagar, saking lebar itu halamannya. Entah berapa biaya jika harus pasang pagar.
Jadi, kalau ada tamu yang datang, ya silakan saja masuk ke halaman dan kami akan membuka pintu rumah. Tentu saja, tamu yang datang tak sebanyak satu hari sebelumnya. Sebab, kami memang sama sekali tak berniat menerima tamu.
Apa yang saya lakukan pada hari kedua Lebaran saat itu? Saya sibuk menyantap telur pindang. Masih tersisa puluhan butir!
Yang penting, pengalaman itu tak terlupa. Kami masih sering membicarakannya sampai saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H