Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Daging Sapi dan Tonsilitis

16 Februari 2022   16:01 Diperbarui: 12 Maret 2022   05:35 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daging sapi kaya protein yang berguna untuk kesehatan tubuh. (Sumber: Reinhard Thrainer/Pixabay)

Saya punya pengalaman (menyakitkan) berkenaan dengan tonsilitis atau yang dikenal dengan nama radang amandel atau amandel saja sudah cukup.

Ketika itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 2 atau kelas 3. Yah, itu sekitaran pertengahan 1970-an. Saat itu, saya sedang parah-parahnya terkena radang amandel.

Biasanya saya bisa masuk sekolah satu pekan, lalu amandel kambuh lagi, dan terkapar selama dua pekan. Sering sekali seperti itu. Makan susah, minum pun sulit ditelan. Demam. Badan tak karuan rasanya.

Rasanya pingin marah-marah, tapi tidak bisa. Ketika dua amandel bengkak sebesar bakso, berwarna merah membara, meninggikan suara dilarang. Bisa tambah parah radangnya.

Mama bolak-balik membawa saya ke dokter setiap kali amandel membandel. Entah mengapa hanya saya yang menderita penyakit itu. Adik-adik saya tidak pernah mengalaminya. Sama sekali tidak adil.

Dokter yang kami datangi itu untung saja tempat praktiknya dekat. Rumahnya, di mana ia berpraktik, berada di gang sebelah. Namanya, ah tak perlu disebut ya, tidak enak dengan keluarganya kalau masih ada. Saya masih ingat namanya sih.

Yang pasti, pak dokter ini sudah sangat senior. Mobilnya entah bermerek Mercy atau Volvo. Warnanya hitam, ukurannya besar. Mobil khas para dokter, kata orang ketika itu.

Saya tidak ingat obat apa yang diberikan pak dokter ketika itu, namun selalu ada obat kumur. Rasanya tidak enak. Yuck!

Setelah itu, saya hanya bisa menyantap biskuit Regal yang direndam air hangat. Biskuit akan membesar ukurannya dan menjadi sangat lunak. Hanya makanan itu yang bisa menyelinap dengan aman di antara dua amandel yang sedang bengkak. Plus, tentu saja, minum air putih banyak-banyak.

Saya tidak ingat berapa kali dalam satu tahun saya harus bertemu pak dokter untuk mengurusi amandel. Sekolah saya pun jadi kacau balau.

Anehnya, pak dokter sama sekali tidak pernah menyarankan untuk mengangkat saja amandel-amandel itu. Dengan sabar dia mengobati saya. Tiap kali saya datang, dia hanya menyuruh saya duduk di tempat tidur pemeriksaan dan membuka mulut lebar-lebar.

Suatu hari, pak dokter menyarankan mama untuk memberi saya daging sapi setiap hari. Itu ketika amandel sedang sehat. Ketika sedang kambuh, konsumsi daging sapi harus berhenti, karena saya tidak menelan.

Selama bertahun-tahun, setidaknya sampai saya lulus sekolah dasar, saya ingat mama selalu memasakkan daging, meski itu hanya untuk saya. Sebab, orang rumah sudah bosan bukan main, setiap hari melihat daging sapi.

Saya juga bosan minta ampun, tapi mama mengatakan bahwa itu obatnya agar amandel tidak bengkak lagi. Ya sudahlah, ditahan saja. Setiap hari saya menyantap daging sapi yang dimasak dengan ragam rupa oleh mama.

Dibuat empal, disemur, digulai (meski saya tak terlalu suka), kadang mama bikin beefsteak, disuwir-suwir, lalu kembali lagi menjadi empal, dan seterusnya.

Ajaibnya, saya tidak pernah lagi mengalami amandel bengkak hingga sekarang. Bahkan, mengapa pak dokter tidak menyarankan untuk membuang amandel bisa sangat saya pahami sekarang.

Menurut situs Sehatq, tonsil atau amandel adalah salah satu fungsi pertahanan tubuh saat memerangi infeksi. Tonsil menghasilkan sel darah putih dan antibodi. Selain itu, organ itu juga bisa menyaring virus dan bakteri yang berusaha untuk masuk ke dalam tubuh.

Selain itu, tonsil juga menjadi "pagar", yang mencegah masuknya benda asing ke dalam paru-paru.

Dengan kata lain, kalau saja saya dioperasi ketika itu, maka bisa jadi saya malah akan sakit-sakitan. Begitu bukan pemikirannya? Atau itu adalah pemikiran pak dokter.

Lalu, mengapa harus menyantap daging sapi atau daging merah? Pak dokter tidak menjelaskan, atau mungkin juga dia menjelaskan ke mama dan saya tidak mendengarnya ketika itu. Saya 'kan masih kecil!

Rupanya, pak dokter melihat saya butuh santapan yang kaya protein. Maka ia menyarankan daging sapi tanpa lemak. Saya baca, melalui situs Health Line, daging, seperti daging sapi, terdiri dari protein yang tinggi kadarnya.

Daging sapi tanpa lemak yang sudah dimasak akan mengandung 26-27 persen protein. Protein yang berasal dari hewan biasanya bermutu tinggi, mengandung semua asam amino esensial yang jumlahnya sembilan.

Lalu, menurut artikel dari University of Michigan Health, tubuh manusia memerlukan protein untuk membangun dan memperbaiki otot, kulit, dan jaringan tubuh lainnya. Protein juga membantu memerangi infeksi, menyeimbangkan cairan tubuh, dan membawa oksigen ke seluruh tubuh.

Jadi, ketika ada bagian tubuh yang terluka, radang amandel salah satunya, maka pertimbangkan makanan sebagai obat. Santap diet yang seimbang dengan kalori yang cukup dan tinggi protein.

Masih dari University of Michigan Health, tidak hanya daging merah yang memiliki kandungan protein tinggi. Banyak jenis makanan lain yang juga demikian.

Misalnya berbagai jenis ikan, seperti salmon, tilapia, dan tuna. Dari kelompok unggas, kalkun adalah hewan dengan kandungan protein paling banyak. Daftarnya bisa dilihat di artikel ini.

Saya bukan dokter, bukan pula ahli gizi atau yang sejenisnya. Tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman yang pernah saya hadapi. Jadi, bisa saja apa yang terjadi sebenarnya tidak disarankan. Namun, kenyataannya saya tidak pernah lagi menderita radang amandel.

Selain itu, karena amandel saya masih berada di tempat masing-masing, sebelum memasuki usia pra-lansia, saya tidak pernah sakit parah. Kalau sekarang badan mulai aneh-aneh, itu sih gara-gara usia.

Dan, yang pasti, saya tidak terlalu menyukai daging sapi ketika beranjak dewasa. Sudah cukup makan daging tiap hari saat masih kecil selama bertahun-tahun. Daging hanya disantap ketika keinginan akan daging muncul. That's it.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun