Rada konyol memang, tapi itulah yang saya rasakan setelah mendapatkan vaksin booster untuk Covid-19. Saya terus-terusan mengantuk selama dua hari. Entah mengapa.
Oh iya, akhirnya saya mendapat tiket untuk vaksin booster dari aplikasi PeduliLindungi. Kemudian, pada 8 Februari lalu, saya mendatangi RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) Matahari yang ada di wilayah Cempaka Putih, Jakarta Pusat untuk suntik booster. Di tempat itu juga saya mendapatkan vaksin pertama dan kedua.
Pagi itu hujan, namun tak deras. Gerimis besar, kadang mengecil. Saya tetap berangkat. Seharusnya, saya sudah berencana untuk pergi satu hari sebelumnya. Namun, Senin, 7 Februari lalu, hujan malah sangat deras pada pagi hari. Selain itu, saya juga tidak bisa membuka mata. Mengantuk kelas berat.
Nah, keesokan harinya, saya sudah siap fisik dan mental. Pagi-pagi saya sudah membuatkan bubur untuk disantap mama seperti biasa, kegiatan yang setiap hari saya lakukan. Hanya saja, kali ini jauh lebih pagi.
Saya tiba di RPTRA nyaris pukul 8 pagi. Terlalu siang. Saya sudah pasrah kalau kehabisan kuota. Namun, kali ini hujan membantu saya. Banyak yang datang lebih siang. Saya mendapat nomor urut 20. Lumayan. Pada vaksin kedua, nomor giliran saya di atas angka 100.
Semakin siang, hujan bertambah deras dan deras. Jadi, tidak banyak orang yang datang. Seperti RPTRA lainnya, lokasinya adalah outdoor. Tapi, saya memang memilih lokasi outdoor. Ketimbang indoor, yang kalau berjubel akan runyam, apalagi jika ventilasi bangunan buruk.
Di tengah hujan deras, kami menanti di tenda besar yang didirikan di atas lapangan basket. Saya duduk tenang menunggu giliran. Saya perhatikan banyak anak yang akan disuntik vaksin hari itu. Saya berusaha untuk tidak dekat-dekat mereka, demi keselamatan bersama. Untung saja, bangku-bangku sudah diatur berjauhan, tapi tetap saja harus waspada.
Sekitar pukul 9.30, giliran saya tiba. Nama saya dipanggil dan saya mendatangi meja untuk konfirmasi pendaftaran. Saya lega, karena setelah dicek oleh petugas, saya memang sudah berhak untuk mendapat vaksinasi ketiga.
Lalu, ketika saya sedang diperiksa dokter, nama saya dipanggil lagi oleh petugas. Lha, bagaimana? Bukannya tadi saya sudah menjawab "yak" ketika dipanggil pertama kali.
Karena proses dari dokter ke vaksinasi lumayan cepat, saya tidak sempat memberi tahu si pemanggil bahwa saya sudah menjawab panggilan. Jangan sampai ada panggilan ketiga, batin saya.
Eh, benar saja. Tepat ketika saya kelar disuntik, saya dipanggil lagi. Jadi seperti film horor...beetlejuice, beetlejuice, beetlejuice, atau bloody mary, bloody mary, bloody mary... Semuanya harus dipanggil tiga kali.
Saya mendapat vaksin Pfizer. Vaksin pertama dan kedua adalah Sinovac.
Kelar disuntik, ketika menunggu untuk konfirmasi sertifikat, saya segera mendatangi petugas. "Pak, saya sudah selesai disuntik. Saya sudah jawab tadi ketika dipanggil pertama kali," kata saya sambil menepuk pundak si bapak.
Bapak petugas itu kaget. Lalu, nama saya dicentang (warna centangnya biru sih, seperti tinta bolpoin si bapak) tanda sudah selesai. Sebab, kalau nama dipanggil tiga kali dan tidak menanggapi, maka kita akan dipanggil kembali setelah 20 nama berikutnya.
Sepuluh menit menunggu dan saya sudah diperbolehkan untuk pulang. Hujan masih deras dan berarti saatnya payung saya beraksi. Saya berjalan keluar dari gang tempat RPTRA berada dan menunggu bajaj lewat. Lima menit kemudian, saya sudah tiba di rumah.
Tiba di rumah, saya mandi lagi. Lalu, makan pagi merangkap siang. Well, saya sudah sarapan sebelum berangkat ke RPTRA tadi, tapi lapar sekali rasanya. Satu jam setelah makan, saya tidak tahan lagi. Saya nggeblag! Tidur nyenyak. Hampir tiga jam lamanya. Mungkin lebih lama.
Lalu, setelah Maghrib, saya tidur lagi, dibangunkan untuk makan malam. Setelah memberi susu mama pada pukul 9 malam, saya tidur lagi. Belum mandi segala. Tidak tahan. Saya mengantuk kelas berat.
Perngantukan masih berlanjut keesokan hari. Saya tidak merasakan gejala lain. Bahkan, bekas suntikan masih kalah nyeri dibanding lutut kanan saya yang rasanya bukan main sakitnya ketika harus berdiri dari duduk. Hari kedua itu, setiap kali ada kesempatan, saya akan rebahan dan tertidur. Mirip orang mabuk. Tidur melulu.
Hari ketiga yang rada aneh. Tiba-tiba saya merasa sumeng. Badan tak karuan, makanan rasanya seperti basi semuanya. Badan meriang tak jelas begitu.
Lalu, adik saya mengingatkan kalau satu hari sebelumnya, saya berkumur dengan obat kumur anti-sariawan. Saya memang sedang sariawan di dalam mulut, dekat pangkal lidah. Sudah berkumur dengan air garam, tak juga reda sariawannya. Akhirnya saya beli obat sariawan di apotik, via daring tentunya.
Saya pun kumur dengan obat itu. Setelah kumur, seluruh mulut saya seperti kebas. Seperti yang saya tulis tadi, semua makanan menjadi berasa basi, bahkan ada yang tak berasa. Saya takut sekali, jangan-jangan saya terinfeksi Covid-19.
Namun, setelah diingatkan tentang obat kumur itu, saya lega. Sisanya ternyata masih terasa hingga keesokan hari. Sumengnya juga. Setelah dicek, ternyata tekanan darah saya melonjak, hanya karena obat kumur.
Saya lalu teringat pernah mengalami sebelumnya, tekanan darah naik setelah diresepkan obat kumur oleh dokter. Ketika itu saya batuk. Well, ternyata saya tidak cocok dengan obat kumur, bahkan obat kumur yang paling konvensional, yang botolnya biru, mereknya berawalan huruf "B".
Saya pun kembali kumur dengan air garam untuk menghilangkan sariawan. Lalu, saya minum obat penurun panas, parasetamol. Keinginan tidur masih terasa, namun tidak separah hari pertama dan kedua.
Hari ini, Alhamdulillah, sariawan sudah hilang. Sumeng tak ada lagi. Saya sudah kembali seperti biasa. Sempat saya pikir apakah mengantuk termasuk dalam kejadian ikutan paska imunisasi. Setelah saya cek daftar KIPI, tidak ada yang namanya mengantuk. Haha, mungkin mengantuk itu khusus untuk saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H