Sebelum nyemplung di desk sepak bola selama belasan tahun di Tabloid BOLA, saya sempat mendapat tugas liputan di desk-desk lainnya, seperti bulu tangkis dan bola basket. Waktu itu, status saya masih reporter anyar, baru saja diangkat sebagai karyawan tetap.
Nah, pada suatu hari, bos saya di desk bola basket menugaskan saya untuk mewawancarai seorang bintang NBA bernama Shaquille O'Neal. Dia akan datang ke Jakarta untuk tur. Tidak disebutkan tur apa. Saya diminta untuk membuat daftar pertanyaan. Tentu saja saya mengerjakannya dengan sepenuh hati. Daftar pertanyaan saya berisi sekitar 20 pertanyaan.
Saya sungguh tak ingat kapan Shaq datang. Mestinya itu setelah musim NBA 1995-96 kelar, yang merupakan musim terakhirnya sebagai pemain Orlando Magic.
Pada Juli 1996, Shaq bergabung dengan Los Angeles Lakers dengan status free agent. Dan, musim yang baru, 1996-97, dimulai pada awal November. Jadi, saya perkirakan ia datang antara Juli dan November 1996.
Saya juga pernah bertemu pemain NBA lainnya, bernama Tyus Edney. Sebagai pemain berposisi point guard, Edney memiliki tinggi badan tidak mencapai 180 cm. Ia bermain bersama Sacramento Kings ketika saya menemuinya.
Sangat berbeda ketika bertemu Shaq. Pria kelahiran Newark di New Jersey itu memiliki posisi sebagai center. Biasanya di bola basket, seorang dengan posisi center adalah pemain paling tinggi di tim. Tinggi badan Shaq 216 cm!
Ketika bertemu, saya masih kurus kering. Rasanya, tinggi badan saya pun belum seperti sekarang, masih lebih pendek 2 atau 3 cm saat itu. Saya jadi kelihatan mungil di hadapan Shaq. Untung saja, wawancara dilakukan dengan Shaq duduk santai di sofa, di sebuah ruang di hotel tempatnya menginap. Kalau harus berdiri, leher saya bisa mendongak permanen.
Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk wawancara. Ketika saya menyelesaikan semua pertanyaan, saya ingat Shaq masih seperti menanti apakah ada pertanyaan yang lain. Saya hanya tersenyum, sembari mengucapkan terima kasih untuk waktu yang telah diluangkannya.
Baru setelah saya keluar dari ruangan dan menuju sebuah ruang besar di mana penonton sudah menanti kehadiran Shaq, barulah saya ngeh. Ternyata, kehadiran pria kelahiran 6 Maret 1972 itu di Jakarta adalah dalam rangka promosi album hip hop barunya. Ya ampun!
Lha bos saya sama sekali tidak mengatakan apa-apa soal album hip hop! Lagipula, saat itu, apa yang saya tahu tentang hip hop? Genre favorit saya adalah pop, rock klasik, balada. Penyanyi favorit saya adalah ABBA, The Beatles, Bon Jovi, Genesis, dan yang sejenisnya. Saya belum menambahkan hip hop sebagai musik favorit. Rasanya juga tak pernah hingga saat ini.
Pantas saja Shaq seperti menanti apakah saya punya pertanyaan yang lain selain tentang bola basket dan kehidupannya, pertanyaan yang mestinya seputar albumnya.
Maafkan, Shaq. Saya sama sekali tidak tahu. Yang pasti, wawancara saya dengan Shaq memberi kesan tersendiri. Hingga hari ini, Shaquille O'Neal tetap menjadi orang paling besar yang pernah saya wawancara. Besar, dalam arti ukurannya ya, terutama tinggi badan.
Saya baca, album debut Shaq, Shaq Diesel, yang dirilis pada 1993, mendapat sertifikasi platinum dari The Recording Industry Association of America. Padahal, pada saat itu, menurut sebuah artikel di Entertainment Weekly, kualitas rapping Shaq dikritik sana-sini.
Sampai saat ini, Shaq masih berkutat di dunia musik. Malah, kini ia memakai nama panggung DJ Diesel dan terakhir kali manggung sebagai DJ pada Oktober 2021 di Las Vegas, Nevada. Opo ora hebat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI