Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menstruasi atau Banjir Bandang?

11 Desember 2021   16:50 Diperbarui: 11 Desember 2021   17:04 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, banjir bandang yang tertera di judul bukan karena hujan lebat ya. Melainkan itu istilah yang saya pakai saat menstruasi setiap bulan. Sangat deras dan banyak volume darahnya. Maaf, kalau kedengarannya menjijikkan. Saya akan ceritakan lebih terperinci di artikel ini.

Menstruasi, atau mens, pertama kali saya alami pada usia 12 tahun. Ketika itu, tidak ada rasa apa-apa di sekitar perut dan pinggang. Hanya tiba-tiba ada darah segar muncul.

Sejak itu, saya rutin mens per bulan, tak pernah absen. Mulanya biasa saja, tidak ada rasa sakit atau apapun. Namun, saat saya mulai kuliah, mulai juga rasa sakit di perut bagian bawah sebelum periode mens dimulai. Biasanya satu hari sebelumnya.

Ketika sakit timbul, wah tubuh saya bisa lemas. Apalagi saat kuliah, badan saya masih sangat kurus. Akan tetapi, bukan hanya pramenstruasi yang membuat saya susah. Ketika mens berlangsung, saya juga kerepotan. Sebab, darah yang keluar akan banyak dan deras.

Mungkin Kompasianer berjenis kelamin perempuan juga sering mengalami seperti ini: Saat duduk, rasanya tidak ada darah yang keluar. Namun, ketika berdiri, itu darah mengucur dengan deras dan biasanya akan memenuhi pembalut dalam sekejap.

Ketika mulai kerja, bukannya semakin berkurang, tetap saja seperti itu. Parahnya, kadang kursi tempat saya duduk pun jadi merah membara gara-gara ketumpahan darah. Aduh, untung saja rekan sekantor tidak ada yang tahu.

Bagusnya, sejak kerja, rasa sakit sebelum mens sudah lebih berkurang. Hanya saja volume darahnya makin banyak. Menurut teori, darah paling banyak keluar itu hingga mens hari ke-2 atau paling lama hari ke-3. Tidak demikian dengan saya. Volume darah yang banyak bisa saya alami hingga satu pekan lamanya. Total, periode mens saya bisa mencapai 10 hari. Repotnya bukan main.

Setiap hari, saat menstruasi, saya selalu berbekal satu bungkus besar pembalut. Saya membeli yang ukuran panjangnya 35 cm, bahkan lebih panjang ketimbang mistar anak SD. Satu pak berisi 12 pembalut dan biasanya habis saya pakai selama saya di kantor.

Saat istirahat siang, biasanya saya akan ke mini market seberang kantor. Untung saja mereka menjual pembalut yang biasa saya pakai. Saya akan membeli setidaknya tiga bungkus. Dua saya bawa pulang, satu bungkus untuk persediaan di loker kantor. Setiap hari saya akan membeli pembalut selama mens masih berlangsung.

Tahun-tahun berlalu, selama itu pula saya selalu mengeluarkan darah dalam volume banyak. Anemia adalah penyakit yang selalu saya idap. Setelah berusia 35 tahun, maka kantor tempat saya bekerja mewajibkan saya untuk general check-up, yang dibiayai oleh perusahaan, setiap dua tahun.

Saya selalu stres setiap kali mendapat giliran untuk cek medis tahunan itu. Sebab, level hemoglobin saya, alias Hb, biasanya hanya 6. Padahal minimal seharusnya 9, bahkan 12 untuk perempuan. Tapi, level Hb saya selalu hanya 6. Karena rendahnya level Hb, saya selalu dipanggil oleh dokter di klinik perusahaan.

Mereka selalu sudah ingin mengirim saya ke rumah sakit untuk diopname. Tapi, mereka juga terheran-heran melihat saya masih bisa berdiri tegak, berjalan tegap, meski level Hb hanya 6. Menurut dokter, biasanya dengan level serendah itu, saya seharusnya tak lagi bisa berjalan.

Saya yakinkan bahwa saya baik-baik saja. Tidak ada masalah. Merasa pusing pun tidak, tidak "melayang" pula. Jadi, saya selalu lolos dari "ancaman" opname. Meski demikian, dokter menganjurkan saya untuk periksa lebih lanjut ke ahli penyakit dalam di rumah sakit.

Saya mengabaikan anjuran dokter itu. Sebab, insting saya mengatakan kalau saya memeriksakan diri, pasti akan ditemukan penyakit yang tidak saya harapkan.

Sampai akhirnya Ramadan 2017 dimulai pada pertengahan Mei. Baru beberapa hari menjalankan puasa, saya sudah harus batal gara-gara mens. Saya pasrah saja.

Hingga lebih dari dua pekan, mens masih belum berhenti juga. Masih deras dan banyak. Saya mulai berpikir, ada apa dengan badan saya. Rekan sekantor yang lebih senior, mereka yang perempuan tentu saja, tahu kondisi saya setiap bulan. Mereka mendesak saya untuk memeriksakan diri, langsung saja ke ahli ginekologi. Ternyata orang-orang rumah juga berpikiran sama.

Gara-gara Mioma

Saya pun mendaftarkan diri ke rumah sakit yang lokasinya dekat dengan rumah, Rumah Sakit Islam. Ada ahli kandungan yang praktik pada Sabtu, pukul 3 sore. Saya datang dengan membawa banyak bekal pembalut, karena yah, seperti biasa, banjir bandang.

Dokter yang saya datangi adalah laki-laki. Tapi, saya tidak memikirkan lagi apakah dokter itu laki-laki atau perempuan. Toh, suster yang membantu pak dokter adalah perempuan.

Setiba di ruang praktik, saya harus segera berganti pembalut. Kebetulan pak dokter belum tiba. Kemudian saya menunggu sekitar 10 menit. Saat bertemu dokter, saya menceritakan semuanya. Pak dokter, mungkin karena sudah sangat berpengalaman, mengatakan di dalam rahim saya mungkin ada "apa-apanya".

Saya diminta berbaring untuk menjalani USG. Benar saja, dari hasil pindaian alat itu, di dalam rahim saya ada sekumpulan besar benda gelap yang tidak tertembus oleh sinar. Karena itulah warnanya jadi hitam.

Pak dokter lantas merekomendasikan saya untuk segera dioperasi. Saya pikir itu memang jalan terbaik. Tidak mungkin saya menolak, karena memang sudah sangat parah.

Jadi, pak dokter memberi tahu saya bahwa benda yang tumbuh di rahim saya, yang ternyata sekumpulan mioma, membuat kerja hormon di rahim jadi kacau. Setiap bulan, darah yang keluar sebagai menstruasi adalah luruhnya dinding rahim.

Tiap bulan, dinding rahim akan menebal, siap untuk menerima embrio dari telur yang telah difertilisasi. Jika tidak ada pembuahan, maka fase mens akan terjadi lagi, yaitu luruh. Semuanya dipengaruhi oleh kerja hormon, terutama hormon estrogen dan progesteron.

Namun, karena adanya mioma, maka hormon-hormon itu menerima perintah dari mereka dan kerjanya jadi kacau. Sebenarnya, saat itu periode mens saya sudah selesai dan sebagai gantinya, saya mengalami bleeding alias pendarahan. Itu karena hormon memberi perintah yang salah, yang menyebabkan dinding rahim terus menerus kontraksi untuk luruh. Bukan lagi darah dari penebalan dinding rahim yang keluar, melainkan darah dari pembuluh darah yang ada di rahim.

Begitu kira-kira yang saya tangkap dari kisah pak dokter. Saat itu, pak dokter pun heran karena saya masih kuat berjalan, masih tertawa-tawa seperti biasa.

Kalau menurut situs WebMD dan eMedicineHealth, mioma, atau mioma uteri (mioma yang tumbuh di dalam rahim), ada tumor jinak rahim yang sering timbul setelah melahirkan. Nah, saya tidak pernah melahirkan. Jadi, saya tidak tahu apa penyebab mioma bisa bertumbuh di rahim saya.

Lalu, ukuran mioma bervariasi, dari yang sangat kecil hingga sulit dideteksi, sampai sangat besar hingga menambah volume rahim dan penderita tampak seperti sedang hamil.

Gejala adanya mioma dalam rahim adalah menstruasi yang berlebihan dan lebih dari 1 pekan lamanya, nyeri panggul, sering buang air kecil, dan konstipasi. Well, saya tidak ingat apakah saya juga mengalami gejala itu, kecuali menstruasi yang berlebihan dan lama.

Saya butuh beberapa hari untuk menyiapkan diri sebelum opname. Pekerjaan di kantor bukan main, plus saya masih ada janji temu wawancara, dua hari sebelum masuk rumah sakit.

Persiapan Operasi

Akhirnya, saya masuk rumah sakit untuk persiapan pada Kamis pekan berikut. Teman-teman di kantor hanya sedikit yang tahu, tapi tentu saja saya harus memberi tahu atasan saya langsung. Tentu saja, setelahnya, satu kantor pun tahu.

Kamis malam saya harus ditransfusi, karena Hb saya hanya 6. Untuk operasi, minimal level Hb adalah 9. Saya butuh dua kantong darah untuk mencapai angka itu.

Sepanjang Jumat keesokan hari, saya menjalani berbagai pemeriksaan, termasuk apakah mioma yang ada di rahim sifatnya ganas, menuju ke kanker. Sebab, jika memang ganas, maka yang melakukan operasi akan menjadi ahli kanker, bukan ahli kandungan. Ternyata, mioma saya tergolong jinak. Alhamdulillah.

Sabtu pagi, pemeriksaan lanjutan dilakukan. Sore harinya saya naik ke meja operasi. Karena tidak bersuami, maka yang menunggui adalah adik saya yang laki-laki.

Tidak sampai satu jam, operasi kelar. Adik saya ditawari oleh pak dokter apakah mau menyimpan semua jaringan mioma itu. Adik saya, tanpa ragu, langsung menolak. Lantas pak dokter meminta izin untuk memakai mioma itu sebagai bahan penelitian. Be my guest, doc!

Semua mioma itu, jumlahnya ada enam buah, ukurannya mirip bola bekel yang besar, memiliki berat total 5 kilogram. Jadi kelar operasi, berat badan saya langsung berkurang 5 kg. Wah, saya senang sekali. Tak perlu pakai program diet, berat badan berkurang dalam sekejap.

Oh iya, sebagian besar rahim saya pun ikut diangkat, sebagian untuk menghindari agar tidak ada lagi jaringan lain yang tumbuh. Selain itu, Insya Allah, saya tidak membutuhkannya lagi.

Jangan Tunda Konsultasi ke Dokter

Dengan demikian, saya mengalami menopause pada 2019, tahun di mana saya bisa kembali menjalani puasa Ramadan dengan penuh, untuk pertama kali sejak anak-anak. Lalu, karena tak ada lagi jaringan liar, maka anemia saya langsung lenyap. Hb saya sekarang sekitar 15.

Yang saya ingin bagikan dengan Kompasianer adalah jika mengalami menstruasi yang tidak normal, seperti yang telah saya paparkan di artikel ini, lebih baik segera berkonsultasi ke dokter kandungan atau ginekolog. Lebih cepat, lebih baik. Tidak perlu menunda seperti yang saya lakukan, setelah bertahun-tahun barulah mau memeriksakan diri ke dokter. Untung saja belum terlambat.

Saya ingat kelar operasi, saya diperbolehkan pulang hanya beberapa hari sebelum Idul Fitri 2017. Saya mengatakan kepada mama: "Ma, kalau saja saya telat operasi, mungkin mama tidak merayakan lebaran ya. Melainkan menguburkan saya."

Dengan darah yang keluar sedemikian banyak, dan jika saya memutuskan untuk tidak dioperasi, saya bisa saja tewas gara-gara kehabisan darah, bukan?

Uh, mama langsung marah mendengar kata-kata saya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun