Saya beruntung pernah nonton sepak bola di Stadion Camp Nou milik Barcelona. Ketika itu, 26 Mei 1999, adalah final Liga Champions dengan finalisnya adalah Bayern Muenchen dan Manchester United.
Jadi, final itu menjadi tugas Eropa saya yang pertama di Tabloid BOLA, tapi bukan liputan pertama ke luar negeri. Kaget juga ketika tahu saya mendapat tugas itu. Langsung saja saya mengirim email ke UEFA, Federasi Sepak Bola Eropa, untuk mendapatkan tiket dan ID card.
Tanpa membutuhkan waktu lama, pihak UEFA memberi konfirmasi bahwa saya bisa menyaksikan final di Barcelona dan harus mengambil paket berisi tiket dan sebagainya di media centre di Camp Nou.
Dua hari sebelum final, saya datang ke Camp Nou. Jalan masuk ke kompleks stadion lumayan jauh dan sangat sepi saat itu. Sayangnya, bahkan Museum Barcelona pun ikut tutup. Mungkin karena ada persiapan untuk final. Padahal, saya sudah siap untuk berkeliling museum.
Keesokan hari, saya hadir di jumpa pers yang digelar oleh United dan Muenchen. Lokasinya lumayan jauh, di Sitges, jauh di luar Barcelona. Sitges merupakan resort wisata yang beken di sana.
Sehari sebelum final, Barcelona mulai ramai dengan kedatangan suporter. Sangat berbeda dengan sehari sebelumnya, yang sangat sepi. Sangat terlihat bedanya antara suporter United dan Muenchen dengan penduduk lokal. Para suporter itu sangat ramai. Bergerombol ke mana-mana, terutama di sekitar stadion, padahal belum ada apa-apa di sana.
Pas hari final, saya terlambat berangkat. Rencananya, saya ingin tiba di stadion sekitar tiga jam sebelum kick-off. Ternyata, saya terhambat gara-gara pagi itu saya harus mengirim berita dan foto-foto ke Jakarta. Ketika itu, internet masih sangat primitif, bahkan di kota besar seperti Barcelona.
Saya harus memakai modem untuk mengirim file-file. Bikin frustrasi. Lambat sekali aliran datanya, butuh berjam-jam untuk bisa mengirim semuanya. Akibatnya saya pun telat.
Oh iya, di Barcelona, saya diinapkan di sebuah rumah yang dimiliki oleh sepasang suami-istri, Luis Canova dan istrinya yang saya lupa namanya. KBRI di Madrid yang mengatur saya untuk bisa tinggal di sana.
Saya menginap bersama Mas Angri (atau Angry, ya tulisannya?), wartawan Majalah Hai. Nah, pada hari final, dia sudah menghilang sejak pagi. Dia memakai ID fotografer, sedangkan saya memakai ID reporter. Jadi, saya bakal duduk di tribun, sedangkan dia di lapangan.
Anyway, ketika berada di kereta bawah tanah, isinya sudah padat dengan suporter United. Mungkin suporter Bayern juga ada. Tapi, yang pasti saya berada satu gerbong dengan suporter United. Saya terjepit di sela-sela tubuh mereka yang besar-besar.
Keluar dari stasiun kereta, berjalan sejenak ke kompleks Camp Nou, bukan main ramainya. Para penonton sedang berjalan ke stadion. Suasana sangat berbeda dengan ketika saya datang beberapa hari sebelumnya.
Saya berjalan secepat mungkin. Saat itu, saya belum pasti akan didudukkan di mana di dalam stadion, sehingga saya harus gerak cepat agar tidak terlambat menyaksikan kick-off gara-gara hanya cari bangku.
Semakin mendekati stadion, semakin terdengar chanting para suporter. Semakin lama semakin keras suaranya. Membuat stadion bergemuruh. Camp Nou berkapasitas lebih dari 90 ribu penonton, stadion terbesar di Eropa menurut UEFA.
Secara otomatis saya mencari petunjuk arah ke pintu masuk stadion. Saat tiba, saya dihentikan oleh petugas. Botol air mineral, yang saya kantongi di blazer, diminta oleh si petugas. Botol air mineral dilarang masuk stadion. Lha, bagaimana kalau saya haus nanti? Menyesal juga mengapa botol itu tidak saya masukkan ke tas.
Sekalian saja saya tanya arah menuju tribun tempat duduk saya. Untung saja saya tidak salah arah. Bangku saya ada di tribun utama, tribun yang letaknya berseberangan dengan tribun "Mes Que Un Club". Hanya saja, saya tidak bisa lagi melihat tulisan itu, karena sudah tertutup penonton.
Saya mengikuti arah menuju tribun. Untung saja ada lift. Saya menekan tombol yang sesuai dengan lokasi bangku. Bagusnya, sebagian besar penonton sudah ada di bangku masing-masing, sehingga lift tidak berebut.
Akhirnya saya tiba di lantai yang sesuai. Saya langsung mencari lokasi bangku. Tidak perlu jauh saya berjalan. Ada satu bangku kosong di antara bangku-bangku lain yang sudah terisi. Saya sibuk minta maaf, karena harus melewati beberapa orang.
Setelah beres, barulah saya memandang ke lapangan. Masya Allah! Ternyata saya duduk di barisan paling atas! Tinggi sekali dari tanah. Curam pula. Rasanya saya butuh seatbelt supaya bisa duduk dengan aman, tanpa tiba-tiba terlempar ke bawah.
Saya bukan orang yang takut ketinggian, namun malam itu saya rasanya gamang sekali. Asli, tinggi banget! Saya mendongak dan melihat bahwa di atas kepala saya adalah atap tribun. Walah, berarti saya benar-benar duduk di pojokan bersama beberapa orang yang duduk di sebelah kanan saya.
UEFA tega sekali. Saya memang mendapat predikat observer untuk final itu, tapi bukan berarti harus didudukkan di ujung sekali, 'kan? Meski berada di tribun utama, bukan berarti saya bisa melihat apa yang terjadi di bawah. Beda dengan lokasi untuk pers yang pemandangannya bisa lebih bebas, karena letaknya lebih rendah dan di tengah tribun.
Saya bertemu lagi dengan wartawan senior Jawa Pos, Wing Wiryanto. Sepekan sebelumnya, saya bertemu Mas Wing di final Piala Winner di Birmingham, tapi itu akan menjadi cerita yang lain. Mas Wing sudah wafat sekarang. Sedangkan Mas Angri (atau Angry) tidak ada di tribun, berarti dia memang berada di lapangan untuk memotret.
Ternyata, selama final berlangsung, saya sudah lupa bahwa saya berada di ketinggian lebih dari 40 meter. Tinggi Stadion Camp Nou adalah 48 meter, atau setara dengan gedung berlantai 16, jika tinggi satu lantai adalah 3 meter sesuai ukuran standar.
Saya sangat menikmati laga United versus Bayern, lupa betapa curamnya stadion itu. Berkali-kali saya berdiri tanpa rasa takut akan terlempar ke bawah, yang mestinya tidak akan terjadi, kecuali jika ada gempa besar. Amit-amit.
Setelah pertandingan kelar, saya turun dari tribun, yang jadi lumayan ribet gara-gara banyak orang yang juga ingin turun dengan lift. Usai jumpa pers dan sebagainya, saya bertemu Mas Angri (atau Mas Angry) dan kami pulang naik taksi ke rumah penginapan. Saat itu sudah pukul 3 pagi, tidak ada lagi kereta bawah tanah. Saya merasa sangat haus. Tukang jualan minum sudah kukut-kukut. Tidak ada lagi yang berjualan.
Saya tidak akan melupakan pengalaman nonton di Camp Nou. Saya sempat mengambil foto-foto selama di tribun. Hanya saja, saat itu kamera masih memakai rol film, bukan digital. Jadi, semua klise menjadi milik Tabloid BOLA, yang kini disimpan oleh Kompas Gramedia sejak tabloid bubar. Dan, saya tidak terpikir untuk mencetak foto-foto yang memorable.
Salah satu bos saya, almarhum Sumohadi Marsis, selalu mengatakan: "Don't tell, but show". Maaf, Pak Sumo, dengan sangat menyesal saya tidak bisa memenuhinya. Saya hanya bisa menceritakannya, tanpa bisa menunjukkan seperti apa Camp Nou malam itu di tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H