Akan tetapi, target saya itu harus direvisi. Pandemi Covid-19 melanda. Yang semula rencana menetap di apartemen hanya satu bulan, kini jadi bertambah. Akhirnya mama dan saya menetap selama empat bulan. Bahkan, kami semua berlebaran di apartemen. Setidaknya kami bisa kumpul untuk pertama kalinya sejak pandemi.
Lalu, faktor lain yang membuat saya harus melakukan revisi adalah kewajiban memakai masker wajah di lingkungan apartemen. Bagaimana caranya senyum saya bisa dilihat orang lain jika tertutup masker?
Saya tidak kurang akal. Saya menganggukkan kepala kepada siapa saja yang saya temui. Entah itu penghuni, satpam, petugas kebersihan, para pegawai toko, warung, dan laundry, pengantar galon air, serta tentu saja penghuni yang temui. Saya selalu menganggukkan kepala kepada mereka. Setiap hari, setiap saat.
Pada bulan kedua, hasilnya mulai terlihat. Si mbak pemilik laundry beserta semua pegawainya sudah mengenal saya. Mereka sudah tahu kebiasaan pesanan laundry saya tanpa saya harus mengucapkannya lagi. Bahkan, mereka sudah hapal nama tower dan nomor kamar saya. Elok, bukan?
Satpam-satpam pun tak ragu untuk menganggukkan kepala setiap kali saya lewat. Saya tentu saja membalasnya dengan senang hati disertai ucapan "selamat pagi/siang, pak".
Oh iya, satu lagi yang juga berubah, yaitu agen apartemen. Namanya, sebut saja, Mbak Rahma. Semula, Mbak Rahma ini orangnya sangat kaku. Tak mau senyum, persis seperti penghuni apartemen lainnya. Mbak Rahma ini juga tinggal di kompleks apartemen yang sama dengan saya, hanya berbeda tower.
Saya adalah pelanggan yang cerewet. Saya bertanya apa saja tentang istilah-istilah di apartemen yang harus saya ketahui. Komunikasi memang hanya dilakukan lewat WhatsApp, tapi itu sudah cukup. Nyatanya, Mbak Rahma berubah menjadi pribadi yang luwes. Mungkin itu sifat aslinya, saya juga tidak tahu.
Bahkan, ketika Lebaran tiba, saya ucapkan selamat merayakan dan Mbak Rahma menumpahkan uneg-uneg tentang bagaimana ia tidak bisa mudik tahun itu gara-gara pandemi. Kota asalnya lumayan jauh, Trenggalek.
Ketika kami memutuskan sudah waktunya untuk kembali ke rumah, saya pun berpamitan kepada beberapa orang. Si mbak laundry menyesali mengapa saya harus pulang ke rumah. Lalu, petugas kebersihan juga. Demikian pula dengan pemilik agen minuman yang sudah menjadi langganan.
Terus terang saja, saya senang tinggal di apartemen. Rasanya semuanya jadi serba ringkas. Tapi, saya tidak suka dengan uang sewa yang harus saya keluarkan. Bayangkan, hanya empat bulan tinggal di sana, uang sewanya setara dengan dua tahun asuransi kesehatan. Itu belum termasuk biaya listrik dan air tiap bulan. Tinggal di apartemen itu mahal, baik itu milik sendiri maupun menyewa.
Tapi, tak apa. Setidaknya saya sudah bisa memenuhi target saya (walau belum paripurna): Membuat beberapa orang di apartemen bisa tersenyum.