Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beramal, Haruskah Dikejar-kejar?

15 Oktober 2021   19:24 Diperbarui: 15 Oktober 2021   19:53 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donasi harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih. (Sumber: viarami/Pixabay)

Saya pernah membaca, berapa pun uang yang kita miliki, meski hanya 100 rupiah, ada hak orang lain di dalamnya. Itulah yang kita amalkan, diberikan kepada orang itu, seikhlas kita. Semampu kita.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, saya sering mendapat telepon dari sebuah organisasi amal. Tidak akan saya sebutkan namanya, selain namanya terdiri dari tiga huruf. Mungkin banyak yang tahu.

Biasanya mereka menelepon pada pagi hari, ketika saya sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan santapan untuk mama. Atau pernah suatu kali malah saya belum bangun tidur. Biasanya mereka akan menghubungi lagi jelang sore.

Satu kali, dua kali, tiga kali. Akhirnya saya hapal nomor telepon yang mereka pakai. Isinya, saya diminta untuk beramal. Untuk saudara-saudara kita di Palestina, kata si penelepon. Biasanya yang menelepon itu seorang laki-laki, suaranya empuk, kedengarannya sangat sabar.

Saya katakan saya akan melakukannya, tapi tidak saya katakan kapan. Setelah itu, si penelepon biasanya akan mengatakan mereka akan mengirimkan semua nomor rekening organisasi mereka melalui WhatsApp. Terakhir, mereka sebutkan bahwa saya harus mengirimkan bukti transfer melalui nomor yang mereka pakai untuk mengirim kabar WhatsApp tersebut.

Mendengar itu, harus mengirimkan bukti transfer, saya langsung memutuskan untuk tidak mengirimkan donasi apapun. Sebab, itu bertentangan dengan yang saya yakini.

Ada kata-kata soal amal dalam Islam yang selalu saya turuti, sebisa mungkin. Begini kata-kata itu: "Ketika tangan kanan beramal, sebaiknya tangan kiri tidak boleh tahu."

Nah, padahal tangan kanan dan kiri kita 'kan berada di tubuh yang sama. Pastilah tangan kiri akan tahu juga. Tentu saja, kata-kata itu memang tidak secara harafiah diartikan demikian.

Intinya, ketika kita beramal, tidak perlu memberi tahu orang lain. Bahkan orang serumah pun tak perlu tahu. Diam-diam saja. Beda misalnya dengan sumbangan untuk masjid setiap bulan, Itu namanya iuran. Sudah pasti ada catatannya, untuk pertanggungjawaban pengurus masjid.

Tapi, amal lain perkara. Itu urusan antara kita dengan Allah SWT. Bahkan ketika kita beramal juga tidak boleh mengharapkan pahala. Jika mengharap pahala, berarti ada pamrihnya. Tidak boleh berharap apa-apa. Pasrah saja, apapun yang akan terjadi nantinya.

Lha ini malah saya diminta untuk mengirimkan bukti transfer segala. Bisa saja saya tetap menyumbang dan tidak perlu kirim bukti transfer, tapi disebutkannya syarat satu itu sudah membuat saya ogah.

Lalu, apakah saya pernah beramal? Saya tak akan memberi tahu. Tapi, saya lebih suka jika orang yang kita bantu adalah yang dekat dengan kita, orang yang kita tahu memang sangat membutuhkan. Bukan yang jauh di Palestina sana. Saya bukannya anti-Palestina, lho ya. Jauh dari itu. Tapi, di sekeliling saya saja masih banyak yang membutuhkan.

Karena saya masih terus "ditagih" untuk beramal, akhirnya nomor telepon organisasi itu saya blok dari ponsel saya. Sejak itu, saya tidak pernah lagi menerima telepon dari mereka. Tidak perlulah saya harus dikejar-kejar untuk amal. Bukan seperti itu cara kerjanya.

Lalu, apa bedanya organisasi amal dengan firma pinjaman online kalau begitu? Keduanya sama-sama memaksa kita untuk mengirim uang. Memang, salah satunya adalah organisasi amal, tapi karena cara kerja mereka seperti itu, ya saya anggap mereka sama saja.

Akhirnya, saya terpikir, apakah setiap "agen" yang ada di organisasi amal itu punya kuota sumbangan yang harus mereka penuhi? Sehingga, mereka harus mengejar-ngejar kliennya untuk mengirimkan uang, untuk beramal?

Semoga Kompasianer yang membaca tulisan ini tidak salah mengerti soal saya dan amal, ya. Saya tidak anti-amal, lho. Sebab, saya tidak perlu dikejar-kejar untuk beramal. Jika memang waktunya, maka saya akan melakukannya. Tanpa harus memberi tahu orang lain. Biarlah hanya Allah SWT dan saya yang mengetahuinya. Yang penting, saya ikhlas ketika melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun