Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Beribu Resep Sup Ayam

6 Oktober 2021   18:43 Diperbarui: 10 Oktober 2021   10:30 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sup ayam ini hanya ilustrasi, bukan buatan saya. (Sumber: DOK.SHUTTERSTOCK/IKA RAHMA H via kompas.com)

Terus terang, saya bukan penggiat kuliner. Saya bukan ahli masak, saya hanya ahli menyantap makanan, seperti yang selalu saya katakan. Kalau saya harus membuat sebuah masakan, itu lebih karena terpepet.

Mama saya selalu menyantap nasi lunak dengan kuah sup ayam. Selama ini, saya selalu membeli. Mama tidak bisa menyantap isi sup ayam itu, karena terlalu keras untuk dikunyah dan ditelan. 

Karena itu, suatu hari saya punya ide: Mengapa harus selalu membeli sup ayam, sementara yang disantap mama hanya kuahnya? Mengapa tidak membuat saja sendiri sup ayam, atau kuah sup ayam. 

Pakai ayam juga sih, tapi tidak dengan sayur-sayurnya, seperti kentang dan wortel. Kedua jenis sayur itu dimasak langsung bersama nasi lunak di rice cooker.

Jadi, saya mulai melakukan riset bagaimana cara membuat sup ayam. Lah...maklumlah, saya belum pernah membuat sup ayam, percaya tidak percaya.

Karena mama sudah sulit untuk ditanyai, padahal dia jago bikin sup, saya pun bertanya kepada asisten rumah tangga. 

Sebenarnya, bisa saja meminta tolong dia untuk membuatkan sup, tapi ART kami itu sibuk sekali. Dia hanya bekerja di rumah kami pada akhir pekan, sementara hari-hari lainnya dia bekerja di banyak rumah lainnya.

Menurut bibik saya itu, bahan dasar sup hanya bawang putih, lada, pala, dan garam. Well, hanya! Ternyata banyak bahan lainnya yang menyusul, seperti bawang merah, daun bawang, seledri, lalu kaldu bubuk kalau tidak mau membuat kaldu alami.

Nah, cara memasaknya yang membuat saya takjub dan bingung. Sangat beragam. Kalau dibilang ada puluhan ribu, ya bisa saja. Saya yakin sup ayam dari rumah ke rumah akan berbeda cara membuatnya. Saya belum bicara sup ayam khas dari daerah tertentu, atau dari negara-negara lainnya.

Sup ala ART adalah bawang putih, lada, pala, dan garam dihaluskan, lalu dimasukkan ke dalam kuah. Bawang merah digoreng, untuk dibubuhkan terakhir kali. 

Lalu, mengapa bawang putih halus tidak ditumis? Menurutnya, anak-anaknya tidak suka dengan minyak yang mengambang di kuah sup, sehingga bawang putih halus tidak ditumis.

Sementara itu, saya sudah menemukan ribuan resep sup ayam menurut Simbah Google. Beragam cara mengolah bumbu, meski komponennya hanya itu-itu saja, diaplikasikan untuk membuat sup.

Bawang putih hanya diiris halus, lantas ditumis, ada juga yang tidak ditumis. Bawang merah tidak digoreng, melainkan ditumis bersama bawang putih. Kenapa jadi banyak sekali kombinasinya?

Saya pun akhirnya mencoba untuk memakai cara ART, bawang putih dan teman-teman dihaluskan, tapi lantas ditumis. Saya juga membuat bawang merah goreng sehari sebelumnya. 

Setelah membuatnya, saya bertekad untuk tidak membuatnya lagi. Saya sudah mengiris tipis-tipis bawang merah sebanyak setengah kilogram, setelah digoreng hasilnya hanya satu botol kecil. Sama sekali tidak sepadan.

Ternyata, dengan bawang putih dihaluskan lantas ditumis, rasa sup kurang nendang. Padahal segala bumbu sudah ditambahkan, termasuk gula pasir. 

Karena pegal-pegal usai mengulek bawang putih dan teman-teman, maka saya memutuskan untuk mengiris halus bawang putih untuk sup buatan berikutnya.

Jadi, 5 siung bawang putih saya iris halus, bawang merah sekitar 8 sampai 9 buah diiris tipis. Ditambah daun bawang, seledri, kaldu, pala, merica halus atau lada untuk kata lainnya, garam. Apalagi ya? Oh iya, rebusan ayam yang diiris-iris.

Mulailah saya membuat sup ayam. Ternyata, dengan irisan halus bawang putih, rasa sup lebih nyata. Saya pun bersemangat. 

Sup kedua ini lebih sukses dibanding yang pertama, namun untuk rasa saya masih menahan diri. Mama tidak boleh terlalu banyak garam. Itu repotnya. Apa enaknya sup yang kurang garam?

Namun, setelah mempertimbangkan seberapa banyak kuah sup yang disantap mama setiap hari, sepertinya jumlah garam total yang dipakai untuk membuat satu panci sup itu menjadi tidak signifikan.

Nah, pada sup buatan berikutnya, saya bisa all out. Toh, mama juga tidak mengeluhkan rasa sup yang disantapnya. Baguslah.

Hanya saja, sup ayam ala Dian malah lebih mirip masakan bernama muntahu. Irisan ayam yang ada di dalam kuah jadi mirip irisan tofu yang ada di muntahu. Biarlah.

Yang penting, saya tidak perlu membeli sup ayam lagi setiap 3 hari. Saya bisa membuatnya dan bisa bertahan hingga kurang lebih satu pekan (disimpan di kulkas) sebelum harus membuat lagi.

Ada yang punya resep sup ayam? Mungkin bisa membaginya dengan saya dan akan saya coba membuatnya. Tapi, prosesnya harus mudah ya, saya tidak mau yang rumit-rumit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun