Sebenarnya, saya punya banyak sekali topik untuk saya tulis di Kompasiana hari ini. Akan tetapi, pagi ini, saya terbangun dengan berita wafatnya Pakde saya. Dia kakak Mama. Pakde itu anak pertama, sedangkan Mama adalah anak kedua.
Jadi, saya memutuskan untuk membuat semacam tribut untuk Pakde saya itu. Dia adalah salah satu orang penting dalam hidup saya, setelah Mama dan almarhum Bapak. Layaknya seorang kakak, Pakde tidak pernah keberatan untuk membantu Mama. Selama ia bisa membantu. Keluarga kami pun sangat dekat.
Pakde adalah seorang purnawirawan Angkatan Laut, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Semasa masih bertugas, rumahnya berada di Surabaya. Sehingga, keempat putrinya pun lahir di kota itu.
Saya tidak ingat kapan Pakde pindah ke kompleks Angkatan Laut di bilangan Bekasi. Namun, Pakde tinggal di rumah itu sejak ia pensiun. Tentu saja, hubungan menjadi lebih mudah dilakukan, karena kami tinggal relatif lebih dekat dibanding sebelumnya.
Anyway, Pakde saya itu ahli memijat. Caranya memijat pun cara yang pintar. Ia paham titik-titik mana yang harus ditekan untuk membenarkan bagian yang bermasalajh. Dia tidak akan menekan di bagian yang sakit. Jadi, pelajaran anatomi manusia adalah satu hal yang harus dipelajarinya dan dia jago sekali untuk itu. Saya mah kalah, padahal saya kuliah di jurusan Biologi di Depok sana.
Permah suatu kali ia ingin melatih saya untuk menjadi tukang pijat juga. Tapi, entah kenapa kok saya menolak, ya? Saya tidak ingat apa alasannya.
Selain ahli pijat, Pakde juga bisa "melihat" energi-energi tak tampak, yang biasanya diabaikan oleh kita-kita yang tak bisa melihat. Biasanya, kalau datang ke rumah kami, Pakde akan tahu jika ada sesuatu yang "aneh". Memang Pakde bukan "penglihat" yang ekstrim, tapi dia tahu.
Saya pernah punya pengalaman soal Pakde dengan keahliannya memijat dan "melihat" tadi.
Peristiwa ini terjadi ketika saya masih kuliah. Sudah lebih dari 20 tahun lalu. Suatu sore, sekitar pukul 4, saya sedang bergegas menuju salah satu laboratorium di gedung Biologi. Barangkali banyak yang tahu, pada masa lalu, tidak ada yang namanya lift di gedung kuliah di Depok. Semua memakai tangga.
Ruang lab itu terletak di lantai 5, ketika itu masih lantai tertinggi. Saya berlari. Tapi, karena memakai sandal jepit, saya tersandung salah satu anak tangga. Saya jatuh, tapi untungnya tidak menggelinding menuruni tangga. Hanya jatuh saja di tangga itu.
Hanya saja, pergelangan kaki saya rupanya terkilir. Sakitnya bukan main. Saat itu juga saya membatin seandainya Pakde saya tahu, saya bisa minta tolong untuk dipijat.