Adakah Kompasianer yang pernah mengalami sakit malaria? Kalau ada, maka kita senasib. Saya tidak tahu apakah parasit Plasmodium, penyebab malaria, masih bermukim di liver saya atau tidak, saya harap tidak, tapi saya tidak mau ceroboh.
Saya terjangkit malaria pertama kali ketika mengikuti almarhum bapak yang ditugaskan di Jayapura, pada awal 1980-an. Ketika itu, Papua masih bernama Irian Jaya. Ketika pindah, saya berada di kelas 1 SMP. Selama empat tahun, kami tinggal di sebuah rumah di kawasan yang bernama Dok V Atas.
Sekira enam bulan sebelum berangkat ke Jayapura, kami semua diharuskan menenggak obat antimalaria. Saya sebut mereknya tak apa ya. Merek obat itu Resochin. Lumayan terkenal obatnya. Saya tidak ingat dosisnya bagaimana, apakah satu kali per hari, atau dua kali, saya tak ingat. Yang saya ingat, obat itu rasanya pahitnya bukan main. Bapak saya bilang itu karena kandungan kina yang ada di dalamnya.
Tapi, obat itu rupanya tidak membuat kami kebal malaria. Maaf, Resochin. Malaria disebabkan oleh parasite bergenus Plasmodium yang dibawa oleh nyamuk Anopheles.
Saya bayangkan seperti apa Jayapura sebelum tiba di sana. Pastinya penuh dengan hutan. Bakal sering ketemu sama yang namanya singa atau harimau serta hewan-hewan lain yang biasa menjadi anggota komunitas hutan.
Saat tiba di sana, semua bayangan saya itu musnah. Ternyata, Jayapura sama sekali tidak ada hutannya. Adanya perumahan. Yang unik adalah kota itu berbukit-bukit, yang membuat jalanan jadi naik dan turun. Bahkan jalan di depan rumah kami punya kemiringan nyaris 45 derajat. Kami tinggal di atas bukit.
Nah, yang namanya nyamuk Anopheles tadi tidak peduli apakah kami tinggal di hutan atau di perkotaan, apakah tinggal di rumah honai atau batako. Anopheles agaknya punya misi khusus untuk menyebarkan Plasmodium sebanyak-banyaknya. Hanya Anopheles betina yang membawa dan menyebarkan Plasmodium melalui gigitannya. Anopheles jantan tidak menggigit.
Tidak perlu waktu lama untuk saya terjangkit malaria. Pada awalnya saya sama sekali tidak tahu bahwa itulah yang namanya sakit malaria. Sakitnya tak tertahankan. Seluruh persendian, bahkan tulang sendi di jari-jari, sangat linu. Pegal tak terkira.
Belum lagi mulut yang tiba-tiba terasa sangat pahit. Pahit sepahit-pahitnya. Sampai-sampai saya tidak doyan makan. Semua makanan jadi terasa pahit. Lalu yang tak tertahankan juga adalah demam yang demikian hebatnya. Sampai menggigil. Apalagi pada malam hari. Bukan main deh rasanya.
Saya tidak suka muntah. Sama sekali tidak suka. Untuk saya, muntah itu haram hukumnya, karena memang tidak enak. Tapi, sebagai penderita malaria, rupanya mual dan muntah adalah teman setia.
Ketika pertama kali terkena malaria, saya sedang ada di sekolah. Sejak pagi, saya memang sudah tidak enak badan. Saya diam saja. Badan saya tidak juga membaik. Malah makin parah menjelang siang. Akhirnya saya memberi tahu guru saya. Tanpa banyak cakap, Pak Guru lantas mendatangi ruang kepala sekolah untuk menelepon ibu saya yang ada di rumah.
Sekitar setengah jam kemudian, bapak saya datang menjemput. Pastinya dia sedang di kantor, tapi menyempatkan diri untuk membawa saya pulang.
Sepekan berikutnya adalah siksaan. Tentu saja, saya dibawa ke dokter. Rupanya, untuk Pak Dokter itu, malaria bukan lagi barang aneh di Irian. Saya mendapat beberapa jenis obat. Ada kina juga, tapi bentuknya beda.
Warnanya hijau, berbentuk bulat, ukurannya seperti tablet normal. Nama obat itu Malarex. Jangan tanya rasanya. Resochin pun kalah pahit. Saya harus minum itu, sepahit apa pun rasanya.
Lalu, ada obat lain. Yang pertama adalah Neuralgin. Obat itu sangat ampuh untuk menghilangkan semua linu pada sendi. Nyaman sekali rasanya setelah minum obat itu. Rasanya pahit juga.
Obat berikutnya bernama Fansidar. Walah, obat itu aneh sekali. Bisa jadi tugasnya adalah memancing agar yang meminumnya bisa muntah. Saya minum itu dan efeknya langsung terasa. Mual dan lantas muntah.
Saya jarang sekali minum obat itu ketika malaria hadir. Kapok. Muntah membuat badan saya lemas.
Setiap malam saya menggigil karena demam. Suhu badan saya tinggi sekali. Biasanya kalau sedang menggigil, insting berkata agar badan meringkuk. Namun, justru itu dilarang. Penderita malaria, menurut Pak Dokter, ketika sedang menggigil tidak boleh meringkuk saat tidur. Dikhawatirkan badan akan kram dan bakal repot urusannya. Karena itu, saya harus tidur telentang.
Satu lagi, ketika pagi menjelang hingga siang menjelang sore, badan saya terasa lebih enak. Saya bisa bangkit dari tempat tidur. Pusing tak terasa. Badan pun tak menggigil. Saya bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, jangan tanya ketika malam tiba. Saya kembali demam hebat.
Bertahun kemudian, saya baca penderita malaria menggigil pada malam hari disebabkan Plasmodium membelah diri pada malam hari. Kok iseng banget. Bikin susah orang saja.
Malaria terus mendampingi saya jauh setelah saya meninggalkan Jayapura. SMA, kuliah. Malaria rajin datang. Apalagi pada masa-masa itu, pola makan saya kacau. Pas SMA, saya berusaha untuk menurunkan berat badan, tapi caranya ngawur. Saya menjarangkan diri untuk makan. Kebiasaan untuk tidak sarapan saya mulai di SMA dan terus menjadi kebiasaan hingga saat ini.
Saya ingat-ingat, pokoknya kalau makan saya kacau, maka malaria hadir. Semasa kuliah pun tak ada bedanya. Lalu, pada tahun-tahun pertama kerja, malaria juga pernah menyambangi. Pada ketiga periode itu, badan saya sangat kurus, anemia berat, rambut saya juga memutih, tapi bukan uban, karena kurang asupan makanan.
Selanjutnya, saya mulai menata diri. Repot juga kalau sering-sering berhadapan dengan malaria. Tidak ada dokter di Jakarta yang percaya saya punya malaria.
Karena itu, saya mulai memperhatikan pola makan. Kapan waktu makan, meski tak sarapan, yang penting waktu makan yang lain tak pernah absen. Juga apa saja yang saya santap. Akhirnya, berat badan saya bertambah, mulai berisi. Ketika itu terjadi, malaria pun semakin jarang datang.
Kini, saya menjadikan malaria sebagai teman. Saya tahu saya tidak sepenuhnya lepas dari yang namanya Plasmodium. Karena itu, ketika tiba-tiba mulut saya terasa pahit, badan mulai linu-linu, dan mulai terasa demam, saya lantas menapak tilas apa yang saya lakukan sampai-sampai tanda malaria muncul seperti itu.
Saya lantas menyantap apa saja yang bisa saya makan. Sedikit terasa pahit, tak apa. Yang penting jangan sampai malaria muncul sepenuh hati. Pesan almarhum bapak setiap kali saya sakit: “Makanlah yang banyak. Paksa saja. Supaya lekas sembuh.”
Ya, masuk akal juga. Kalau perut kosong, sementara kita harus menelan banyak obat, lambung bisa runyam. Tidak ada bantalan untuk obat-obat itu.
Jadi, demikianlah. Semua tanda malaria itu saya jadikan teman, saya jadikan patokan sebagai petunjuk adanya kesalahan pola hidup saya dan segera saya perbaiki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H