Baru saja lihat sebuah berita di Kompas TV, seorang cewek yang baru saja melahirkan dan lantas membuang bayinya. Bodohnya, aksi si cewek itu tertangkap kamera CCTV. Langsung saja dia didatangi polisi dan ditangkap. Bodohnya lagi, cewek itu tidak mengakui perbuatannya. Padahal, bukti dari CCTV sudah cukup untuk membuatnya ditangkap.
Saya tidak tahu apa masalah si cewek sampai-sampai dia harus membuang bayi yang baru dilahirkannya. Lalu, kalau mau berbuat yang buruk, sebaiknya jangan lupa untuk melihat sekeliling. Jangan sampai ada kamera atau apa pun yang bisa menangkap aksi.
Beberapa menit kemudian, saya membaca melalui berita daring. Seorang murid SMP berusia 14 tahun. Saat itu sedang ada program vaksinasi Covid-19. Dia menolak untuk divaksin. Alasannya karena ia baru saja melahirkan dan membuang bayinya di sungai!
Apakah kalau tidak ada program vaksinasi, maka ia berharap kejahatannya akan tertutupi? Sudah begitu, dia juga mengaku berhubungan badan sebanyak lima kali dengan pacarnya, cowok berusia 17 tahun. Dan, itu menghasilkan kehamilan. Bayi yang dibuang di sungai lantas ditemukan dan diperiksa.
Apakah sedemikian mudahnya membuang seorang bayi demi menutupi hasil “kebejatan”, hasil kenikmatan sesaat, hasil dari perbuatan yang tidak dipikirkan akibatnya?
Saya kenal banyak perempuan yang sudah menikah, yang kesulitan untuk hamil. Salah satu teman saya sudah menikah lebih dari 10 tahun. Dan, sekarang malah suaminya sudah meninggal. Usia teman saya sudah di luar batas aman untuk hamil. Mungkin juga dia sudah menopause sekarang.
Dia selalu berusaha untuk bisa hamil. Apa pun dilakukannya. Tapi, tidak pernah sukses. Sekarang, dia tidak akan pernah punya bayi. Untung saja, dia punya banyak keponakan, sehingga pikiran dan tenaganya dialihkan kepada para keponakan.
Lalu, tante saya. Saya tahu bagaimana dia mengusahakan untuk bisa hamil. Segala macam dicoba, Semua dokter kandungan didatangi. Sampai akhirnya, ia mengambil langkah pamungkas: Bayi tabung. Jika menunggu lebih lama, maka tante saya itu akan memasuki zona usia yang berisiko untuk hamil.
Alhamdulillah, program bayi tabung yang dijalaninya sukses. Lahirlah seorang anak perempuan, jelaslah dia anak semata wayang. Tante, kalau tante membaca tulisan ini, maaf banget ya. Saya pakai tante untuk contoh. Tak apa, ya.
Lalu, ada juga dosen saya yang kebetulan kakak sepupu saya. Dia menikah ketika saya masih kuliah, sekitar 20 tahun lalu. Ketika awal-awal menikah, kakak sepupu saya itu harus menjalani terapi hormon untuk bisa hamil. Tapi, ya begitulah.