Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Life Hack Pilihan

BPJS Kesehatan, IGD, dan Kesabaran

25 Juni 2021   20:40 Diperbarui: 25 Juni 2021   20:44 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Instalasi Gawat Darurat (Sumber: Aulia Hospital)

Ada dua jenis Badan Penyelenggara Jaminan Sosial alias BPJS. Yang pertama adalah BPJS Kesehatan, yang merupakan kelanjutan dari Askes atau Asuransi Kesehatan. Yang kedua adalah BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan penerus Jamsostek atau Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Yang ingin saya bicarakan di sini adalah BPJS Kesehatan. Supaya lebih praktis, maka akan saya tulis dengan BPJS saja.

Terus terang, baru satu kali saya menggunakan Kartu Indonesia Sehat, walau saya rajin membayar iuran.

Ketika itu, tekanan darah saya melonjak, sehingga seluruh badan saya rasanya berat dan kaku. Saya datang ke Faskes, atau klinik yang ditunjuk menjadi fasilitas kesehatan. Terletak di gang sebelah dari rumah, saya menunjukkan KIS dan e-KTP juga diminta. Kemudian, dokter pun memeriksa saya.

Saya datang ke Faskes, karena dokter yang biasa memeriksa saya tidak praktik setiap Minggu. Seandainya saya sakit sehari sebelumnya, atau Sabtu, maka saya akan datang ke rumah sakit tempat Pak Dokter berpraktik.

Di Faskes, karena memang ditujukan untuk pengguna BPJS, maka saya juga tidak ditarik bayaran alias gratis. Jasa dokter dan semua obat ditanggung.

Di rumah saya, yang paling sering memakai fasilitas BPJS adalah Mama. Tapi, kami tidak pernah meminta surat rujukan sebelum Mama dirawat. Triknya adalah kami akan membawa Mama ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). 

Melalui IGD, tidak diperlukan rujukan, termasuk ketika harus mencari kamar untuk rawat inap. Sangat mudah. Itu yang berlaku di rumah sakit swasta di bilangan Cempaka Putih. Mungkin di IGD rumah sakit lain juga demikian.

Tentu saja, kami sudah membawa semua surat yang diperlukan. KIS, e-KTP, Kartu Keluarga, lengkap dengan semua fotokopinya berlembar-lembar.

Hingga saat ini, setiap kali Mama harus opname, kami tidak pernah meminta surat rujukan ke Faskes. 

Jauh sebelumnya, ketika Covid-19 belum merajalela, Mama harus melakukan USG untuk kakinya. Entah dari mana, Mama tiba-tiba sudah punya surat rujukan untuk keperluan perawatan itu. Agaknya Mama minta tolong ke Pak Ojek langganan, yang sudah kami percaya.

Jadi, saya yang bertugas untuk mengantar Mama ke rumah sakit, rumah sakit yang sama dengan tempat IGD tadi berada. 

So, kami pun mengantri untuk mendapatkan surat pengantar ke poli dimaksud. Karena belum ada Covid-19, maka kami pun duduk di ruang tunggu, bersama puluhan orang lainnya, menunggu giliran sesuai nomor urut.

Ketika itu, sudah hampir pukul 11.00 dan kami mendapat nomor urut 72. Saya lihat di loket, petugasnya sedang melayani calon pasien dengan nomor urut 30an. Hanya ada dua loket. Setiap orang dilayani secepat mungkin, namun tetap saja tidak cukup cepat.

Karena tidak mungkin harus menunggu sekitar 40 orang untuk kelar, maka saya putuskan untuk memakai cara biasa: Bayar sendiri!

Ketika itu, kami sudah membawa semua berkas. Mama sudah menyiapkan setidaknya 15 lembar fotokopi untuk masing-masing jenis dokumen. Bisa dibayangkan 'kan tebalnya. Persis seperti ketika saya mendaftar ulang untuk masuk ke universitas puluhan tahun lalu.

Mama hanya menurut saja ketika saya putuskan untuk tidak lagi menunggu di loket BPJS. Kami langsung datang ke bagian pendaftaran non-BPJS. Lima menit kemudian, kami sudah mengantri di poli.

Satu hal soal BPJS yang bukan favorit saya adalah banyaknya berkas yang menyertai. Sangat merepotkan. Dalam benak saya, dengan BPJS, yang saya yakin sudah online, mestinya hanya menyebut nomor dan semua dokumen sudah terhubung satu sama lain. Sekali klik, maka data di BPJS, e-KTP, dan Kartu Keluarga sudah tersedia.

Selain itu, BPJS membutuhkan rujukan untuk tiap perlakuan. Mungkin untuk rawat inap, semua sudah termasuk, tanpa rujukan lagi jika melalui IGD. Namun, beda halnya dengan rawat jalan. Beda dokter, beda rujukan. Ada perawatan baru, berarti butuh rujukan yang baru. Faskes tidak semua beroperasi selama 24 jam. Karena itu, akan sulit untuk mendapatkan rujukan yang berbeda pada hari yang sama. Berarti akan butuh berhari-hari untuk satu kasus saja.

Karena itulah, kami hanya memakai BPJS, dalam hal ini Mama, untuk rawat inap. Ketika harus rawat jalan, kami berusaha untuk membayar sendiri saja. Lebih praktis dan lebih cepat.

Satu lagi, jika ingin memakai BPJS, ada hal lain yang mesti disiapkan dalam jumlah tak terhingga, yaitu kesabaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Life Hack Selengkapnya
Lihat Life Hack Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun