Rapat ini lazim disebut tudang sipulung. Tudang sipulung adalah dua kata dalam Bahasa Bugis yang berarti duduk berkumpul. Pada tudang sipulung itulah dirumuskan secara bersamasama jadwal turun sawah berdasarkan informasi dari para peneliti, ketersediaan sarana produksi oleh perusahaan, dan juga fakta-fakta di lapangan oleh petani. Lalu keputusannya nanti dibuat oleh pemerintah melalui sebuah regulasi. Tudang sipulung menjadi media yang tepat menyampaikan segala informasi yang termuat pada kalender tanam terpadu dinamik.
Pengetahuan leluhur Bugis tentang bercocok tanam (termasuk iklim) juga sangat penting kedudukannya dalam pengambilan keputusan pada tudang sipulung. Pengetahuan yang dijaga turun temurun dari sebuah kitab (lontara’) akan dibacakan oleh seorang tokoh adat yang disebut pa’lontara’. Maka informasi iklim berbasis ilmu pengetahuan moderen tadi akan dikombinasi dengan kearifan lokal setempat.
Namun, keinginan mengkombinasi ilmu pengetahuan moderen dengan kearifan lokal setempat terkait jadwal turun sawah sering menemui kendala. Tetua adat atau paso’ biasanya sudah menentukan jadwal turun sawah secara sepihak dengan cara mencoblos (menandai) kalender, dimana jadwal yang ditetapkan berbeda dengan keputusan tudang sipulung. Entah lebih cepat atau lebih lambat. Dan jika sudah diputuskan seperti itu, masyrakat adat (petani) pantang melanggar. Untuk kasus seperti ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih persuasif untuk meyakinkan para tokoh adat terkait terjadinya perubahan iklim global.
Tudang sipulung dilakukan secara berjenjang yang hirarkinya dimulai dari level tertinggi yaitu provinsi, kemudian turun ke kabupaten/kota, selanjutnya ke kecamatan turun ke desa/kelurahan bahkan sampai ke dusun atau kelompoktani. Semakin rendah level hirarki, maka pembahasan pada tudang sipulung akan semakin khusus. Pada tingkat kecamatan atau desa, tudang sipulung akan memutuskan pada minggu atau tanggal berapa benih mulai disemai.
Selain jadwal tanam, kalender tanam terpadu dinamik memuat banyak informasi lain seperti rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi, jagung dan kedelai. Varietas yang tahan dengan OPT atau varietas yang cocok untuk lahan kering maupun rawa, potensi kekeringan dan banjir, juga kemungkinan serangan organisme pengganggu tanam (OPT). Semua itu disajikan berdasarkan spesifik lokasi masing-masing wilayah sampai pada tingkat kecamatan.
Dengan adanya kalender tanam terpadu dinamik ini, pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh instansi terkait dalam hal ini Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) akan terkendali. Namun petani dalam hal ini juga bisa berpartisipasi aktif dalam pengelolaan air, misalnya meningkatkan level tanah dari yang sekarang sebagian besar tanah sakit menjadi tanah subur bahkan tanah sehat.
[caption id="" align="alignnone" width="336" caption="Lontara, Museum I Laga Ligo"]
Hal itu diwujudkan dengan pertanian organik, cara bercocok tanam yang kembali ke alam sebagaimana dicontohkan petani Bugis dahulu. Melakukan pemupukan dengan bahan hayati atau organik yang tersedia dari alam semisal jerami atau kotoran ternak. Nantinya diharapkan dengan penggunaan bahan organik akan meningkatkan penyerapan air sehingga tanah tidak mudah kering. Sebagaimana banyak terjadi di lahan persawahan sekarang, dimana tanah cepat kering meskipun baru diisi air.