[caption id="attachment_90652" align="aligncenter" width="680" caption="Eceng Gondok"][/caption]
“Tongeng moga ndi’ cola-cola’e wedding laipancaji gas?”
(Benarkah dik’ eceng gondok bisa jadi gas?)
Itu pertanyaan seorang Ibu ke saya. Disampaikan dengan logat Bugis Wajo yang kental. Sebuah keraguan yang yang cukup mendasar. Apa iya eceng gondok yang selama ini dianggap sebagai masalah besar ketika danau meluap, ternyata bisa dimanfaatkan jadi gas bio? Jawaban dari pertanyaan itu “Iya, Insya Allah”. Sebuah jawaban super duper bijak. Karena saya sendiri sebenarnya juga ragu.
Ceritanya bermula ketika seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat menghubungi nomor ponsel saya. Dia menyampaikan bahwa pernah membaca sebuah artikel tentang biogas yang berbahan baku eceng gondok. Rencananya ingin menerepakan hal serupa. Mengingat wilayah kerjanya sekarang pada desa Assorajang di pinggir Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan sedang diserbu eceng gondok.
Inti dari maksud pembicaraanya bahwa, meminta kesediaan saya sebagai instruktur sekaligus teknisi pada “pilot project” tersebut. Karena masih awam perihal biogas eceng gondok, saya tidak langsung mengiyakan. Akan saya konfirmasi ulang satu minggu ke depan. Bersama tim, kami memang sudah menjelajah beberapa daerah di Sulsel-Sulbar merakit biogas. Tapi yang berbahan dasar feses ternak (BACA).
Demi mencari tahu tentang biogas eceng gondok, saya bela-belain berangkat ke Dumay (Dunia maya). Akhirnya saya temukan bahwa, pengolahan eceng gondok menjadi gas tak ubahnya dengan feses ternak. Bedanya, eceng gondok harus dipotong kecil-kecil (lebih kurang 1 cm) terlebih dahulu dari batang sampai daun (tanpa akar). Larutan air dengan bahan yang digunakan pun sama, satu banding satu.
Masalahnya ada pada digester tempat terjadinya fermentasi. Dari beberapa literatur yang saya temukan, hampir semua menggunakan dua drum yang disambung. Sementara selama ini, saya menggunakan fiber yang biasa digunakan untuk penampung air. Saya lalu ingat pelajaran Fisika ketika SMA dulu, bahwa “model suatu alat bisa berbeda, asal prinsip kerjanya sama”. Jadi yah, no problem.
Sedikit nekat, bersama seorang kawan akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran ini. Motivasinya semata-mata karena tertantang dan ingin berpartisipasi aktif dalam kegiatan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Pembicaraan berlanjut ke waktu pelaksanaan. Info tentang alat dan bahan yang harus dipersiapakan dikirim via email. Sementara alat yang tidak tersedia di daerah, harus didatangkan dari Makassar.
Tiba hari H pelaksanaan, dimulai dengan seminar di Kantor Desa. Dibuka langsung oleh Pak Camat. Bergantian materi dibawakan oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten wajo, kemudian disusul presentasi dari kami. Cukup unik, karena peserta yang hadir justru lebih banyak ibu-ibu dan anak gadis. Kata fasilitator ke saya, di desa seperti ini, jika pagi hari para bapak sudah berangkat ke sawah/kebun. Itulah makanya umumnya pertemuan dilaksanakan pada malam hari.
Selesai presentasi dan diskusi singkat, kemudian dilanjutkan dengan demonstrasi di salah satu rumah tokoh masyarakat. Lokasi yang dipilih cukup strategis, karena berbatasan langsung dengan danau. Untuk laki-laki, kami arahkan untuk merakit instalasi. Sementara kaum Ibu, memotong eceng gondok yang sudah disiapkan sebelumnya. Semua bergembira dalam gotong royong khas pedesaan.
Setelah semua rampung, instalasi dipasang dan bahan mulai dimasukkan ke penampungan. Tak lupa menambahkan sedikit feses sapi. Khusus penambahan feses sapi ini, hanya dilakukan sekali saja untuk merangsang terjadinya fermentasi. Jika sudah penuh, digester kemudian ditutup rapat. Tinggal menunggu sampai muncul gas, sambil tetap melakukan kontrol khususnya pada penampungan dan regulator.
Tiga pekan kemudian, akhirnya project gila yang saya sebut “trial and error” itu akhrinya membuahkan hasil. Gas yang diharapkan dari terjadinya pembusukan eceng gondok dalam ruang hampa udara (an aerob) tersebut akhirnya muncul. Semua mengisi ruang-ruang kosong dalam penampungan plastik. Untuk membuktikan, saya lalu menyulutkan api ke atas kompor. Dan terlihatlah si “api biru” yang merupakan warna khas biogas.
Keraguan saya, si Ibu dan segenap warga desa akhirnya terjawab. Namun ini belum bisa dikatakan berhasil 100%, karena masih sebatas meraih belum mempertahankan. Kuncinya ada pada pemilik biogas dalam merawat instalasi dan mengisi bahan baku agar terus menerus memproduksi gas. Yah, semoga project ini berlanjut, agar masyarakat bisa merasakan manfaatnya...
.
Wassalam...
IRSYAM SYAM
Nih ada sedikit gambar :
[caption id="" align="aligncenter" width="478" caption="Luar biasa, ibu-ibu lebih antusias ikut seminar"]
Postingan Terkait :
Konversi Gas Elpiji ke Gas Bio
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H